Laman

Kamis, 30 Oktober 2014

Sistim Pendidikan Dalam Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah


Tarekat dalam kehidupan kita sehari-hari kadang ada yang mengartikan sama dengan tasawuf dan sebaliknya. Nicholson, seorang orientalis yang kompeten dalam bidang ini, menjelaskan bahwa sufisme bukanlah sistem yang tersusun atas aturan atau sains, namun menurutnya adalah merupakan aturan moral. Bila tasawuf merupakan sebuah sains, tentu hanya akan di ketahui melalui
serangkaian instruksi, sedangkan akhlak kepada Tuhan tidaka akan dapat di wujudkan hanya melalui serangkaian aturan atau sains.

Lebih lanjut beliau juga menegaskan , untuk mengatasi ketidak sempurnaan dunia, maka bukalah mata terhadfap sesuatu yang tidak sempurna, sebagai upaya untuk bisa merenungi (mengingat) Allah, Dzat yang jauh dari ketidak sempurnaan, dan itulah sufisme. Senada dengan diatas HAMKA juga mendifinisikan tasawuf, menurut beliau sebagaimana di tegaskan di dalam bukunya Tasawuf Modern ialah keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang mulia atau terpuji.

Kegiatan kaum sufi dalam arti yang demikian adalah yang di tuntut dan dianjurkan oleh agama, karena Islam melalui lisan para pembawanya berfungsi untuk menjamin dan memelihara keseimbangan dunia ini, bahkan Nabi sendiri menegaskan kerasulannya hanyalah untuik menyempurnakan akhlak.

Secara khusus tasawuf juga dapat diartikan sebagai jalan rohani (thariqah) yang menuju kepada pencapaian kesempurnaan moral dan pengetahuan intuitif mengenai Tuhan. Dengan demikian yang menjadi tujuan utama orang menjalankan laku tasawuf adalah mendapatkan penghayatan makrifat langsung pada dzat Allah.

Untuk dapat mengahyati dan memperoleh makrifat kepada Allah, jalan yang harus di tempuh adalah dengan melalui dengan jalan pengalaman meditasi konsentrasi di dalam dzikir kepada Allah. Dalam tasawuf jalan untuk bisa menuju makrifat kepada Allah jalannya di namakan tarekat (thariqah).

Ada lima karakteristik, menurut al Taftazani di dalam betasawuf yang bersifat psikis, moral, dan epistemologis, yaitu sebagai berikut:

1. Peningkatan moral. Setiap tasawuf memiliki nilai-nilai moral tertentu yang bertujuan untuk membersihkan jiwa, untuk perealisasian nilai-nilai itu.
2. Pemenuhan fana’ dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana’ adalah kondisi seorang sufi dimana seorang sufi tidak lagi merasakan adanya diri ataupun keakuannya, bahkan dia merasa kekal abadi dalam realitas yang tertinggi, dia telah meleburkan kehendaknya begai kehendak yang mutlak.
3. Pengetahuan intuitif langsung. Para sufi berkeyakinan atas terdapatnya metode yang lain bagi pemahaman hakikat realitas di balik persepsi inderawi dan penalaran intelektual yang disebut dengan kasf atau intuisi.
4. Ketentraman dan kebahagiaan. Tasawuf diniatkan sebagai pengenadali berbagai dorongan hawa nafsu dan pembangkit keseimbangan psikis bagi diri seorang sufi.
5. Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan. Ini mengandung dua pengeratian. Pertama, pengertian yang di timba dari harfiah kata-kata. Kedua, pengertian di peroleh dari analisa yang mendalam.

Dari sini dapat di ketahui secara komprehenshif tentang tasawuf.

Pada dasarnya tasawuf adalah falsafah hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia. Seseorang tidak dapat memehami tasawuf kecuali sesudah ruh dan jiwanya menjadi kuat, demikian kuatnya hingga ia dapat melepaskan dirinya dari keindahan lahiriah, keindahan yang dapat di raba dengan panca indera itu. Di kala ruh dan jiwa sudah matang, maka keindahan lahir itu menjadi kecil dan remeh, mereka melepaskan dari duania yang kasar menuju pada dunia yang penuh dengan kekuatan dan kebersihan ruh serta jiwa. Oleh karena itu hakikat dari tasawuf adalah sebuah upaya untuk mencari jalan untuk memeperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani.

Dari berbagai penjelasan diatas, dapat di generalisir pada sebuah pengertian yang lebih khusus mengenai pendidikan nilai yang dilakukan dalam tasawuf, khususnya pendidikan yang dilakukan dalam tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah.

Untuk melihat pendidikan yang dilakukan oleh tarekat atau tasawuf, kita harus menilik kembali apa tujuan dari tujuan akhir pendidikan Islam itu sendiri. Karena ajaran tasawuf adalah merupakan juga ajaran Islam yang tidak bisa terpisahkan. Jika tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah, maka pendidikan haruslah dapat menjadikan seluruh manusia mau menghambakan diri kepada Allah.

Untuk dapat merealisasikan tujuan akhir pendidikan seperti di paparkan tersebut, tentunya di butuhkan pendidikan yang baik, yaitu pendidikan yang komprehenshif dan holistik. Pendidikan yang tidak hanya memperhatikan pengembangan terhadap aspek lahiriah tetapi juga batiniah.

Pendidikan seperti diatas kalau kita lihat dalam kerangka pendidikan tasawuf dapat di pahami sebagai bentuk pendidikan keagamaan yang bersifat pribadi bagi seorang murid (salik), yang di
berikan oleh seorang guru (mursyid).

Keberadaan guru tarekat dalam sebuah tarekat amat penting, bahkan sangat mutlak. Keberadaan Mursyid atau Syekh sebagai Pembimbing Ruhani, sebagaimana yang telah di wajibkan dalam Al-Quran, bahwa wajib memiliki seorang Walian Mursyida, Pembimbing yang Mursyida.

Inti dari tarekat dalam arti ajaran adalah jalan yang harus di tempuh oleh kaum sufi dalam berusaha mendekatkan diri kepada Allah melalui ajaran-ajaran yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh ulama’-ulama’ sebelumnya sebagai upaya untuk penyucian hati dari sesuatu selain Allah, dan untuk menghiasi dzikir kepada Allah.4 Demikian juga halnya dengan tawajuhan yang dilakukan dalam tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah ini, untuk bisa mencapai pada dataran pendekatan diri kepada Allah haruslah dengan jalan khusus, yaitu dengan jalan tawajuhan yang dilakukan dengan memperbanyak dzikir kepada Allah. Dengan dzikir manusia akan semakin mudah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan kita tahu bahwa dengan dzikir pulalah seperti yang dilakukan dalam tarekat naqsabandiyah kholidiyah ini setidaknya manusia akan mendapatkan dua hal dari Allah, yaitu:

1 orang tersebut akan selalu di telungkupi oleh rahmat Allah.
2 orang tersebut akan selalu mendapatkan ketenangan di dalam hidupnya.

Jika manusia dalam hidupnya sudah di telungkupi oleh rahmat Allah, sudah barang tentu akan merasakan ketenangan di dalam hidupnya. Jika demikian halnya, maka yang ada hanyalah beribadah kepada Allah dengan lebih khsusuk, karena mereka sudah yakin kalau yang dapat menciptakan ketenangan hanyalah Allah. Hal ini dapat mengarahkan kepada kita untuk dapat memahami hakikat dari tujuan hidup manusia, yaitu tercapainya keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Dan pada akhirnya tujuan hidup tersebut akan dapat di capai.

Jadi pendekatan yang dilakukan dalam kegiatan tarekat pada tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah ini adalah dengan melalui pendekatan dzikir, yang mana dzikir ini dimaksudkan agar kita dapat membiasakan kebiasaan yang baik yang selalu menuntun kepada mereka untuk selalu mengingat Allah. Hal ini ada cara khsusus yang harus di tempuh oleh pengikutnya, sebagaimana dapat kita baca di dalam kitab Risalah Mubarokah.

Adapun dzikir yang di lakukan di dalam Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah sebagian besar di tempuh dengan dzikir sirri. Dalam tarekat naqsabandiyah kholidiyah, ada yang menyebut sebagai thariqat al dzikir. Sebab dalam tarekat ini selalu menempatkan tasawuf sebagai pakaiannya. Sementara dzikir di tempatkan sebagai muamalahnya, yang dipelajari dan di peroleh dari mursyidnya. Dan itu semua diperdalam lagi dalam bentuk pengamalan untuk memoles perilaku kita sehari-hari. Dengan begitu, perilaku tasawuf yang telah menyatu dengan dengan jiwa kita tersebut akan menjadi hal yang reflektif, menyatu dan mengalir sistematis (taken for granted) dalam diri kita manusia.

Jadi kalau kita melihat orang mengaku telah mengikuti kegiatan tarekat tetapi hati dan perilakunya belum menunjukkan sebagaimana yang di gambarkan dalam kegiatan kesehariannya maka orang tersebut belum dapat kita namakan sebagai pelaku tasawuf yang sebenarnya. Karena
yang namanya orang bertarekat ataupun tasawuf intinya adalah pada pembentukan akhlak atau pembiasaan berperilaku baik, baik itu akhlak kepada sesama manusia, akhlak kepada makhluk lain maupun akhlak kita kepada Allah SWT. Dalam pengamalannya harus ada keseimbangan antara hablum minallah (hubungan baik dengan Alloh) dan hablum minannasnya (hubungan baik dengan sesama manusia).

Dari kegiatan yang dijalankan diatas tujuan yang utama yang ingin dicapai adalah agar manusia dapat senantiasa dekat dengan Allah SWT. Manusia untuk bisa dekat dengan sang pencipta itu harus menggunakan cara. Adapun cara yang di gunakan oleh tarekat naqsabandiyah kholidiyah yang di gunakan untuk memberikan pengajaran kepada para saliknya adalah dengan mengambil jalan tawajuhan, sebagaimana penulis kemukakan diatas.

Namun demikian, setiap sistem yang ada biasanya mempunyai kelebihan dan juga memiliki kekurangan. Demikian halnya dengan model tawajuhan yang di terapkan dalam memberikan pengajaran pada tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah tentunya juga memiliki sisi positif dan negatif.

Untuk melihat sisi positif dan juga negatif dari model tawajuhan yang di terapkan pada tarekat naqsabandiyah kholidiyah sebagaimana yang penulis teliti, penulis menemukan beberapa hal yang menjadi kelebihan dari model tawajuhan ini, utamanya terletak pada aspek pembelajaran terhadap para salik atau murid yang mengikuti kegiatan tersebut. Bahwasanya di waktu syekh memberikan materi yang harus di terima oleh para santri tarekat, mereka senantiasa mendengarkan dengan seksama dengan penuh hikmad, tiada satupun dari mereka yang berani membantah terhadap apa yang di perintahkan oleh sang guru (sabdo pandito ratu). Kepatuhan dari seorang murid kepada seorang guru inilah yang menjadi ciri bagi seorang salik kepada seorang guru.

Sayyidina Ali di dalam kitab Ta’lim al Muta’alim karya Imam Az-Zarnuji disana di katakan bahwa jika ingin berhasil di dalam memperoleh ilmu adalah dengan memenuhi tata cara yang ada. Diantaranya adalah dengan taat kepada guru.

Di dalam dunia santri patuh dan taat terhadap guru merupakan hal yang utama namun bukanlah bersifat sakral. Karena seorang syekh atau guru merupakan sosok atau figur yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses mereka belajar, maka dari itu sudahlah pantas apabila sosok guru mendapatkan porsi di hormati yang istimewa dari seorang murid atau salik. Sebab kita tahu bahwa peranan guru di dalam tarekat bukanlah semata-mata memberikan pengajaran kepada seorang salik, namun lebih dari itu adalah bahwa syekh atau guru dalam tarekat adalah memang mereka yang benar-benar mempunyai kompetensi di bidangnya.

Hal ini dapat kita lihat pada penjelasan diatas, dimana setidaknya ada banyak hal yang harus di lakukan di dalam mengikuti tarekat ini, karena disana kita akan tahu bahwa di dalam tarekat tersebut tentunya banyak melakukan latihan-latihan dan menerima ajaran-ajaran dari seorang syekh, yang merupakan ritualitas yang harus di jalani oleh salik. Maka dari itu sebagai seorang syekh haruslah mampu menjadi panutan bagi saliknya sebagaimana yang telah dilakukan oleh syekh di dalam menawajuhi para saliknya diatas.

Sebagaimana yang tercantum di dalam buletin tsaqafatuna, disana di terangkan pada waktu itu Sayyidina Ali bertanya kepada baginda Nabi, “Ya Rasulullah, tnjukkanlah kepada kami, jalan yang paling dekat kepada Allah.” Nah disinilah tarekat sudah di terapkan secara praktis, menyatu dengan kepribadian seorang mu’min, yang lengkap dengan akhlaknya. Sayyidina Ali di suruh duduk oleh kanjeng Nabi dengan posisi yang terbaik duduknya, lalu tangannya diatur sedemikian rupa oleh Nabi. Lalu Rasulullah memerintahkan , “pejamkan matamu!” Selanjtnya Nabi menuntun (talqin) Ali dengan ucapan “laa ilaaha illallah” tiga kali. Tarekat itu di jalankan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Lalu Sayyidina Abu Bakar al Shiddiq mendengar. Maka datanglah kepada Ali bin Abi Thalib sambil memohon “Wahai Ali, ajarkanlah kami sebagaimana kamu diajari baginda Nabi Muhammad SAW. Talqinlah aku.” Kita tentu merasa kagum melihat hal ini. Sayyidina Abu Bakar kan mertua Nabi, umurnya haya selisih satu tahun dengan Rasulullah, yang
jika di banding dengan usia Ali sangatlah jauh jaraknya, dimana Sayyidina Ali lebih muda. Tapi mengapa Abu bakar datangnya kepada Sayyid Ali, bukannya langsung kepada Nabi! Seandainya minta tuntunan langsung kepada Nabi, toh bisa juga. Tetapi dengan tawadlu’nya, dengan akhlaknya dan kemauan menghargai ilmu yang di peroleh Ali , Sayyidina Abi Bakar minta di talkin dan di bai’at oleh Ali. Maka kedudukan Sayyidina Abu Bakar adalah sebagai murid Sayyidina Ali bin Abi Thalib di dalam hal tarekat.

Tidak lama setelah kejadian itu juga ternyata Abu Bakar di bai’at oleh Nabi dengan dzikir sirri. Ketika mendengar berita itupun sahabat Ali datang kepada sahabat Abu Bakar untuk minta di bai’at. Kemudian di bai’atlah Ali sehingga menjadilah beliau sebagai murid Sayyidina Abu Bakar.

Hal ini juga di dukung oleh banyaknya hadits Nabi tentang pengamalan ilmu dan penyebarannya, mendorong mereka untuk berbagi ilmu dan pengamalannya kepada ca;on murid yang mendekatkan diri kepadanya. Hadits Ad-Dinu Nasihah dan al Ulama’ Waratsatul al Ambiya’, di gemari oleh mereka untuk penyebaran itu. Sehingga syekh (guru) mempunyai tugas dan kedudukan seperti Nabi. Hal tersebut tersimpul dalam hadits Nabi yang artinya “seorang syekh dalam kalangannya adalah seperti nabi di antara umatnya”. Itulah sebabnya jabatan guru di dalam tarekat tidak boleh di emban oleh sembarang orang. Ia merupakan orang pilihan yang telah berhasil menguasai pokok ajaran ilmu tarekat. Dalam pada itu juga peranan guru di dalam tarekat juga merupakan sosok yang wajib di hormati, di patuhi dan tidak boleh di ganggu gugat.

Lebih jauh dari pada itu pengabdian seorang murid terhadap guru merupakan suatu kehormatan tertinggi yang harus dilakukan di dalam sebuah tarekat. Pengabdian yang sedemikian rupa ini di dasarkan kepada pernyataan Imam al Ghozali di dalam karyanya Ikhya’ ‘Ulumuddin bahwa murid harus mempunyai syeikh yang memimpinnya. Barang siapa tidak mempunyai syeikh yang menuntun jalan, maka akan di tuntun oleh iblis dalam melalui jalan-jalannya. 8 Karena pentingnya seorang guru itulah maka setiap penganut tarekat harus patuh dan taat terhadap syeikhnya.

Dan juga ketaatan murid dalam suatu tarekat merupakan kunci keberhasilan di dalam menempuhnya, karean guru dalam hal ini sudah mengalami dan mengetaui semua hal yang diajarkannya.

Demikian halnya dengan tarekat naqsabandiyah kholidiyah, bahwa di dalam tarekat pada dasarnya berisikan tentang penguatan keyakinan manusia, dimana di dalam tarekat tersebut diajarkan tentang semua manusia dunia ini akan mati semua tanpa terkecuali. Maka dari itu
di dalam tarekat naqsabandiyah kholidiyah ini sebenarnya mengajak kepada manusia untuk mencari bekal ketika nanti manusia sudah di panggil oleh yang kuasa dan juga bagaimana baiknya di kala kita hidup di dunia ini.

Pada tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah mengajarkan kepada setiap pengikutnya kepada arah kehidupan yang lebih aktif dan kontemplatif di dalam mengembangkan penyadaran kritis dan kreatif melalui pendekatan pengamalan-pengamalan dzikir yang cerdas kepada dan bagi para pengikutnya. Hal ini tercermin dari doktrin tarekat ini yang selalu menjalankan aturan-aturan yang ketat, seperti yang ada pada pokokpokok ajarannya, yaitu:
1. berpegang teguh terhadap paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
2. Mengamalkan sesuatu yang halal tetapi tidak sepenuhnya, seperti makan minum tidak terlalu kenyang, mengurangi tidur supaya dapat berdzikir dengan baik.
3. Berhati-hati terhadap masalah subhat.
4. Senantiasa merasa diawasi oleh Alloh SWT.
5. Menghadapkan diri kepada Alloh secara kontinyu.
6. Berpaling (tidak tergiur) terhadap kemewahan harta dunia
7. Merasa sepi sendirian dalam suasana ramai dan hati selalu hudlur kepada Alloh.
8. Berpakaian yang rapi
9. Dzikir khafi (samar tidak bersuara)
10. Menjaga keluar masuknya nafas jangan sampai lupa mengingat Alloh
11. Berakhlak yang luhur seperti yang di contohkan Rosululloh SAW.

pelaku tarekat Naqsabandiyah kholidiyah kesehariannya haruslah berperilaku sesuai dengan apa yang di ajarkan oleh gurunya. Ini sudah menjadi konsekuensi bagi siapa saja yang masuk kedalam lembaga tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah. Karena di sadari ataupun tidak, setiap tarekat yang berkembang di Indonesia dan dunia pada umumnya adalah merupakan ajaran yang di perintahkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.

yang selanjutnya di teruskan oleh para sahabat Nabi, dan pada gilirannya akan sampailah kepada kita sebagai umat Muhammmad. Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat selamat di dunia dan akhirat. Karena tarekat merupakan amalan yang dilakukan Nabi maka sudah barang tentu tarekat juga merupakan ajaran Islam yang harus kita laksanakan, guna mencapai ibadah yang sempurna kepada Allah SWT.

Karena kita tahu bahwa inti tarekat adalah pembiasaan diri untuk berdzikir, dan dzikir itu intinya adalah mengingat kepada Allah di mana dan kapan pun kita berada selalu merasa di awasi oleh Allah. Maka selanjutnya yang harus dilakukan oleh setiap manusia adalah bagaimana bisa beribadah dengan benar sesuai dengan ajaran Islam. Ajaran Islam yang demikian inilah sebenarnya dapat kita temuai di dalam tarekat.

Karena di dalam tarekat mengajarkan kepada pengikutnya untuk beribadah sesuai dengan syari’ah agama Islam, sebagaimana yang juga dilakukan dalam tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah. Hal ini dapat penulkis artikan sebagai upaya untuk menambah ibadah, karena dengan adanya modernitas seperti yang terjadi sekarang ini manusia tidak akan puas dengan ibadah – ibadah pokok saja.

Masyarakat modern memerlukan pengalaman keagamaan yang lebih intens di dalam pencarian makna keberibadatannya. Ibadah yang seperti ini dalam agama Islam hanya di kemas oleh lembaga-lembaga tarekat-tarekat Lebih dari itu tarekat merupakan bagian dari tasawuf, maka sudah barang tentu mempunyai ruang untuk bisa menembus batas-batas yang sempit. Sehingga di harapkan mampu menembus atau meneropong hubungan manusia dengan sang kholiq. Walaupun mungkin di dalam al Qur’an dan al Hadits di yakini memiliki ajaran-ajaran universal. Tetapi ternyata ada sebuah keniscayaan bahwa tidak semua orang mampu memahami dan mewujudkan ajaran-ajaran Islam yang terkandung di dalamnya. Jika demikian halnya maka sudah barang tentu tarekat merupakan salah satu solusi yang akan mampu memberikan pemahaman terhadap ajaran-ajaran yang belum dapat di pahami oleh khalayak umum, khsusunya adalah orang-orang yang sudah lanjut usia yang tidak mempunyai pengetahuan dan pemahaman dalam bidang tersebut. Karena yang merupakan salah satu dari ciri hidup kesufian adalah di dalam memahami al Qur’an mereka selalu menggunakan intuitif yang jernih, sehingga kontekstualitas di dalam memahami makna sebuah ayat selalu hidup dan relevan.

Implikasinya terhadap para pengikut tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah adalah melalui tarekat mereka dapat meminimalisir adanya krisis spiritualitas. Jadi jelaslah bahwa tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dengan tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah, karena disana penekanannya adalah pada pembentukan akhlakul karimah, dimana dalam ajaran Islam juga di tekankan mengenai pengamalan akhlakul karimah.

Bagaimana tidak, di dalam tarekat naqsabandiyah kholidiyah sangat di tekankan untuk menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.  Jika demikian maka manusia akan merasa selalu di awasi oleh Allah di mana dan kapanpun berada (muroqobah). Juga karena tarekat adalah perilaku yang dilaksanakan Nabi, dan Nabi sendiri ada di dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak yang belum sempurna kepada akhlak yang sempurna (akhlakul karimah).


Artikel Terkait:
*Tarikat Naqsabandiyah

Sumber:
Catatan Tareqat Naqsabandiyah Kholidiyah ini di rangkum dari berbagai sumber, jika ada kekeliruan atau kesalahan dalam penulisan Mohon dikoreksi.

Tidak ada komentar: