Siang di bumi Madinah, suatu hari. Matahari tengah benderang. Teriknya
sungguh garang menyapa hampir setiap jengkal kota dan pepasir lembah. Jalanan
senyap, orang-orang lebih memilih istirahat di dalam rumah daripada bepergian
dan melakukan perniagaan. Namun tidak baginya, lelaki tegap, berwajah teduh dan
mengenakan jubah yang sederhana itu berjalan menyusuri lorong-lorong kota
sendirian. Ia tidak peduli
dengan panas yang menyengat. Ia tak terganggu dengan debu-debu yang naik ke udara. Ia terus saja bersemangat mengayun langkah. Sesekali ekor matanya berkerling ke sana ke mari seperti tengah mengawasi. Hatinya lega, ketika daerah yang dilewatinya sentosa seperti kemarin.
dengan panas yang menyengat. Ia tak terganggu dengan debu-debu yang naik ke udara. Ia terus saja bersemangat mengayun langkah. Sesekali ekor matanya berkerling ke sana ke mari seperti tengah mengawasi. Hatinya lega, ketika daerah yang dilewatinya sentosa seperti kemarin.
Hingga ketika ia melewati salah satu halaman rumah seorang
penduduk, tiba-tiba ia berhenti. Langkahnya surut. Pandangannya tertuju pada
anak kecil di sana. Ditajamkan pendengarannya, samar-samar ia seperti mendengar
suara lirih cericit burung. Perlahan ia mendatanginya dan dengan lembut ia
menyapa bocah laki-laki yang tengah asyik bermain.
"Nak, apa yang berada di tanganmu itu?" Wajah si kecil
mendongak, hanya sekilas dan menjawab.
"Paman, tidakkah paman lihat, ini adalah seekor burung,"
polosnya ringan. Pandangan lelaki ini meredup, ia jatuh iba melihat burung itu
mencericit parau. Di dalam hatinya mengalun sebuah kesedihan, "Burung ini
tentu sangat ingin terbang dan anak ini tidak mengerti jika mahluk kecil ini
teraniaya."
"Bolehkah aku membelinya, nak? Aku sangat ingin
memilikinya," suaranya penuh harap. Si kecil memandang lelaki yang tak
dikenalnya dengan seksama. Ada gurat kesungguhan dalam paras beningnya. Lelaki
itu masih saja menatapnya lekat. Akhirnya dengan agak ragu ia berkata,
"Baiklah paman," maka anak kecil pun segera bangkit menyerahkan
burung kepada lelaki yang baru pertama kali dijumpainya.
Tanpa menunggu, lelaki ini merogoh saku jubah sederhananya.
Beberapa keping uang itu kini berpindah. Dalam genggamannya burung kecil itu
dibawanya menjauh. Dengan hati-hati kini ia membuka genggamannya seraya
bergumam senang, "Dengan menyebut asma Allah yang Maha Penyayang, engkau
burung kecil, terbanglah...terbanglah..."
Maka sepasang sayap itu mengepak tinggi. Ia menengadah hening
memandang burung yang terbang ke jauh angkasa. Sungguh, langit Madinah menjadi
saksi, ketika senyuman senang tersungging di bibirnya yang seringkali
bertasbih. Sayup-sayup didengarnya sebuah suara lelaki dewasa yang membuatnya
pergi dengan langkah tergesa. "Nak, tahukah engkau siapa yang membeli burung
mu itu? Tahukah engkau siapa lelaki mulia yang kemudian membebaskan burung itu
ke angkasa? Dialah Khalifah Umar nak..."
***
"Malam-malam di kota Madinah"
Masih seperti malam-malam sebelumnya, ia mengendap berjalan keluar
dari rumah petak sederhana. Masih seperti malam kemarin, ia sendirian
menelusuri jalanan yang sudah seperti nafasnya sendiri. Dengan udara padang
pasir yang dingin tertiup, ia menyulam langkah-langkah merambahi rumah-rumah
yang penghuninya ditelan lelap. Tak ingin malam ini terlewati tanpa mengetahui
bahwa mereka baik-baik saja. Sungguh tak akan pernah rela ia harus berselimut
dalam rumahnya tanpa kepastian di luar sana tak ada bala. Maka ia bertekad
malam ini untuk berpatroli lagi.
Madinah sudah tersusuri, malam sudah hampir di puncak. Angkasa
bertabur kejora. Ia masih berjalan, meski lelah jelas terasa. Sesekali ia
mendongak melabuhkan pandangan ke langit Madinah yang terlihat jelita. Maka ia
pun tersenyum seperti terhibur dan memuja pencipta. Tak terasa Madinah sudah
ditinggalkan, ia berjalan sudah sampai di luar kota. Dan langkahnya terhenti
ketika dilihatnya seorang lelaki yang tengah duduk sendirian menghadap sebuah
pelita.
"Assalamu'alaikum wahai fulan," ia menegur lelaki ini
dengan santun.
"Apakah yang engkau lakukan malam-malam begini
sendirian," tambahnya. Lelaki itu tidak jadi menjawab ketika didengarnya
dari dalam tenda suara perempuan yang memanggilnya dengan mengaduh. Dengan
tersendat lelaki itu memberitahu bahwa istrinya akan melahirkan. Lelaki itu
bingung karena di sana tak ada sanak saudara yang dapat diminta pertolongannya.
Setengah berlari maka ia pun pergi, menuju rumah sederhananya yang
masih sangat jauh. Ia menyeret kakinya yang sudah lelah karena telah
mengelilingi Madinah. Ia terus saja berlari, meski kakinya merasakan dengan
jelas batu-batu yang dipijaknya sepanjang jalan. Tentu saja karena alas kakinya
telah tipis dan dipenuhi lubang. Ia jadi teringat kembali sahabat-sahabatnya
yang mengingatkan agar ia membeli sandal yang baru.
"Umm Kultsum, bangunlah, ada kebaikan yang bisa kau lakukan
malam ini," Ia membangunkan istrinya dengan nafas tersengal. Sosok
perempuan itu menurut tanpa sepatah kata. Dan kini ia tak lagi sendiri berlari.
Berdua mereka membelah malam. Allah menjadi saksi keduanya dan memberikan
rahmah hingga dengan selamat mereka sampai di tenda lelaki yang istrinya akan
melahirkan.
Umm Kultsum segera masuk dan membantu persalinan. Allah Maha
Besar, suara tangis bayi singgah di telinga. Ibunya selamat. Lelaki itu
bersujud mencium tanah dan kemudian menghampirinya sambil berkata,
"Siapakah engkau, yang begitu mulia menolong kami?"
Lelaki ini tidak perlu memberikan jawaban karena suara Ummi
Kultsum saat itu memenuhi lengang udara, "Wahai Amirul Mukminin, ucapkan
selamat kepada tuan rumah, telah lahir seorang anak laki-laki yang gagah."
***
Sahabat, betapa terpesona, mengenang kisah indah
Khalifah Umar bin Khatab. Ia adalah seorang pemimpin negara, tapi sejarah
mengabadikan kesehariannya sebagai orang sederhana tanpa berlimpah harta. Ia
adalah orang yang paling berkuasa, tapi lembaran kisah hidupnya begitu penuh
kerja keras dalam mengayomi seluruh rakyatnya. Ia adalah orang nomor satu tapi
siang dan malamnya jarang dilalui dengan pengawal. Ia seorang penyayang meski
kepada seekor burung. Ia sanggup berlari tanpa henti demi menolong seorang
perempuan tak dikenal yang akan melahirkan. Dan ia melakukannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar