Laman

Jumat, 27 Juni 2014

THE CIRCLE OF LOVE (Refleksi Dan Jiwa Adalah Ahad)


Kebutuhan kita, kesedihan kita, doa-doa kita, lahir dari kesedihan karena berpisah. Kita membutuhkan kasih sayangNya, berkahNya, kebijaksanaanNya, kekuatanNya. Kita butuh untuk membawa kualitasNya, nama-namaNya, dan sifat-sifatNya pada kehidpan ini. Jawabannya adalah untuk memberitahukan kita kualitas-kualitas dalam diri kita, untuk menemukan
kebijaksanaandan kemahaampunanNya dalam hati kita. Ilusi terbesar, yaitu ilusi dualitas yang memisahkan kita denganNya, mulai mencair saat kita merasakan dan hidup dalam kualitas-kualitas ini. Kemudian kita direngkuh dalam paradoks bahwa kualitas divine ini adalah selain dari kita sendiri namun demikian, adalah bagian dari kita.

Mereka adalah milik Diri dan bukanlah milik ego. Bila ego mengidentifikasi dengan kualitas ini, maka kita akan menderita kesombongan, merasa diri besar dan penting. Tapi, saat ego menyembah dihadapanNya, saat kita menjadi “tidak lebih dari sebutir debu di kakiNya”, maka sang hamba dapat merefeksikan kualitas-kualitas Tuannya. Dan dalam hati, sang hamba akan mengetahui bahwa refleksi dan sumber refleksi itu adalah satu.

Saat doa hati semakin mendalam , kita melintasi dualitas menuju kesatuan, namun tetap dalam tugas sebagai hamba, mengetahui Keilahiyahan “lainnya”. Untuk pikiran, ini adalah paradoks yang membingungkan, namun bagi hati ini adalah kebenaran yang sederhana. Kita telah memanggil padaNya dan Ia telah menjawab; bahkan dalam kesunyianNya, Ia telah menjawab kita. Ia adalah panggilan kita. Kebingungan kita terjadi karena kita tidak mengenalinya. Dengan menyerahkan diri pada kehendakNya, kita menyadari KekuatanNya, dan tahu bahwa karena kita adalah bagian dariNya, ia memenuhi kebutuhaNya pada saat yang tepat, dengan jalan yang tepat.

Kesederhanaan dari wahyu ini begitu memenuhi perasaan. Ia butuh untuk memanggil kita sehingga Ia dapat mengetahui kebutuhannya sendiri.

Semakin intens panggilan, semakin penuh perasaan, semakin besar kebutuhanNya. Kita membawa kesadaraNya ke dalam dunia dualitas ini- kesadaran kita adalah kesadaranNya (kesadaran adalah hadiah terbesar bagi humanitas). Ketika kita menggunakan kesadaran ilahiyah ini semata-mata untuk tujuan ego, kita akan tetap dalam ego, terdinding dalam perpisahan. Tapi, saat kita menggunakannya bagi tujuanNya, . sehingga Ia dapat mendengar kebutuhan hati dan kebutuhan lainnya dari sang hamba, maka ia menampakkan kemanunggalan yang terpatri dalam kesadaran ini. Ia menampakkan rahasia, yang tersembunyi dalam penciptaan, tersembunyi dalam hati kita sendiri. Semua yang berada dalam pencinta, adalah milik Kekasih, sebagai Fakhruddin Iraqi berkata pada kita, “Pencarian dan keinginan pecinta adalah sebuah tanda aspirasi Kekasih. Sungguh, semua sifat-sifatnya; malu, keinginan, kebahagian, rasa dan tawa- semua yang dia “miliki” sebenarnya adalah milik Kekasih. Pencinta hanya meminjamnya dari perwalian.; Ia bahkan tidak bisa dipanggil sebagai rekanan, karena rekanan, dalam sifat, akan menuntut dua esensi yang berbeda.Tapi, dalam mata kontemplatif pecinta, tiada ada yang eksis dalam realitas kecuali Essensi tunggal.

Seribu benda Lebih sejuta lagi, Bila kau melihat pada realitas, Adalah satu. Jadi, semua sifat itu erat berhubungan pada sang Kekasih seorang, sifat itu tidak pernah ada dalam pecinta. Bagaimana non-eksisten (pecinta), memiliki sifat-sifat eksisten?

Doa hati membeberkan kebenaran ini, rahasia atas rahasia, di telapak kaki Kekasih. Kita menjadi tahu KemanunggalanNya, tapi di dalam pengalaman ini, tidak ada yang tahu,-kita tidak ada. Kita kembalikan padaNya apa yang sudah diberikan padaNya. Kebenaran kehadiranNya, realitas sederhana dari kesatuanNya. Di realitas ini, kita tidak ada. Lingkaran Cinta yang tertutup, menampilkan kekosongan esensialnya.

Menyimak/Mendengar Dari setiap hal Yang bernyanyi padamu: setiap saat Kita akan semakin mendengarnya dengan lebih jelas.

Mendengarkan Adalah Salah satu Cara Bersama Dengan Tuhan Dengan berdoa, kita belajar untuk mendengar pada Ia yang kita cintai. Walau demikian, mendengarkan bukanlah sebuah usaha, bukan suatu teknik, bukan pula suatu pekerjaan yang harus dilakukan. Mendengar itu bersumber dari keinginan bersama dengan seseorang yang anda tunggu untuk mendengarkannya. Mendengarkan adalah pendekatan, diawali dari kesunyian ini hingga terwujudkan menjadi kata-kata, sehingga memberi bentuk bagi dirinya (kesunyian) itu sendiri. Walaupun dalam kesunyian ketika tidak ada sesuatu pun yang dapat terdengar, mendengarkan tetap saja sebuah hubungan.

Belajar mendengarkan adalah melepaskan diri untuk hadir tanpa memaksa maupun menuntut, untuk menahan sebuah ruang dimana sesuatu dapat diucapkan, dimana pertemuan dapat tersibak, saat keterbukaan terjawab.

Ada sebuah cerita dari Cina tentang dua orang sahabat, yang satu pemain sitar dan yang lainnya adalah pendengar. Pemusik ini begitu berbakat, sehingga permainanya senantiasa membius para pendengar. Setiap ia memainkan sitar, maka temannya akan setia duduk mendengarkan. Suatu hari, sahabat pendengar itu meninggal dunia, begitu sedihnya sahabat ini, sehingga ia memutus dawai sitaranya dan tak permah bermain musik lagi. Sitar dengan dawai yang terputus, telah menjadi simbol persahabatan yang dalam.

Pecinta dan Kekasihnya adalah dua sahabat, dimana pecinta adalah pendengar yang terlahir untuk mendengarkan Kekasihnya. Tanpa pecinta, bagaimana lagu Kekasih dapat terdengar?

Pada permulaan, kita harus belajar seni mendengarkan, seni untuk hadir (pikiran tidak bercabang-cabang) penuh perhatian, dan kosong. Kita harus belajar untuk menangkap ketenangan, suara kecil dari Kekasih, tidak memotong pembicaraan dan tidak banyak bertanya. Kita harus belajar untuk hening, karena mendengarkan itu lahir dari keheningan. Tapi, mendengarkan dengan hati selalu merupakan sebuah lakon dari cinta, bersama-sama mendekat, walaupun tidak ada yang terdengar. Mendengarkan adalah kebijaksanaan yang sangat gampang terabaikan, karena ini peran feminine, menerima dan tersembunyi sementara budaya kita hanya menghargai apa yang tampak. Tapi, Rumi mengetahui bagaimana mendengarkan ini memainkan peran pusat dalam percintaan kita, dalam hubungan kita dengan Kekasih yang tak memiliki bentuk keduniaan.

Buatlah telinga dari setiap bagian dirimu, setiap atom dari wujudmu, dan kau akan Mendengar sang Sumber berbisik padamu setiap saat, hanya padamu dan untukmu, Tanpa kebutuhan akan kata-kataku atau pun kata-kata orang lain. Kau- kita semua Adalah pencinta dari sang Kekasih. Setiap saat, di setiap peristiwa kehidupanmu, Ia Berbisik apa yang harus dan ingin kau ketahui. Siapakah yang dapat menjelaskan Keajaiban ini? Sedehana saja. Dengarlah dan kau akan menemukannya dalam setiap Momen yang berlalu. Dengarlah, dan seluruh kehidupanmu akan menjadi sebuah Percakapan dalam pikiran maupun karya antara engakau dan Dia, secara langsung, Tanpa kata-kata, saat ini, dan selalu.

Bagaimaan kita belajar seni mendengarkan ini? Bagaimana kita belajar mendengarkan apa sabdaNya? Bagaimana kita belajar menjadi bagian kesunyianNya saat tidak ada satupun yang terucap? Bagaimanakah hati bisa mendengar? Berbentuk apakah pendengaran itu di dalam diri kita? Apakah ini selalu dalam bentuk mendengarkan tapi terabaikan, tertutup oleh aktivitas lainnya? Atau, apakah kita harus membangkitkan pendengaran ini? Apakah kita harus membangkitkan setiap atom dalam kedirian kita agar mendengar apa yang SangSumber bisikkan, ataukah kita hanya harus berhubungan hubungan rahasia ini?

Setiap hubungan yang nyata, selau lahir dari kemiripan, kedekatan. Bahkan kalau pun kita terlihat bertolak belakang dalam banyak hal terhadap pasangan maupun teman kita, kita tertarik karena kemiripan: ini adalah titik temunya. Kita berbagi sesuatu. Semakin dalam keadaan yang kita bagi, semakin dalam dan kemungkinan akan semakin awet hubungannya. Bila kita hanya berbagi minat selintasan, maka hubungan yang terjalin pun mugkin hanya selintasan pula. Bila kita berbagi kelekatan hati, maka mata rantainya akan lebih kuat, lebih dalam dan lebih awet. Kita mempunyai persamaan dengan Kekasih; kita diciptakan dari citraNya. Kita tercipta dari substansiNya. Jauh di kedalaman hati kita, kita tahu bahwa kita adalah milikNya dan kita telah bersumpah untuk bersaksi atasNya. Ini berarti, kita memiliki komuni terdalam dengan Kekasih, kualitas mendengar yang terdalam. Tapi, seperti banyaknya hubungan kita denganNya, kemampuan kita mendengar Dia telah tertutup. Seperti halnya kita telah melupakanNya, kita telah lupa pula untuk mendengar Dia, bagaimana caranya kita membiarkan diri kita untuk mendengar. Kita perlu menemukan kembali bagaimana caranya hati mendengar pada Kekasih. Hubungan Dengan Guru Salah satu cara bagi pejalan untuk belajar mendengar adalah melalui hubungan dengan guru. Hubungan ini sangat sentral dalam jalan sufi, karena guru adalah penjaga gerbang kemuliaan. Melalui hubungannya dengan guru, pejalan dibawa ke kehadiran Kekasih; melalui misteri bersatu dengan guru, ia bersatu pada kekosongan tak bertepi dari Allah.

Guru membawa kita ke dalam kekosongan tak bertepi, dan membimbing kita juga bagiamana untuk selaras dengan kehadiranNya. Melalui hubungan dengan guru sejati, kita membangun hubungan dengan Dia yang kita cintai, dia yang dengan citraNya kita terlahir. Mendengarakan guru, kita belajar untuk mendengarkan apa yang mengalir lewat guru, pada sumber dari pembicaraannya. Guru adalah seseorang yang memiliki akses kepada sumber, yang berbicara saat ia diperintah untuk bicara. Seperti kata Bhai Sahib, “Aku hanya berbicara sebatas yang diperintahkan, tak ada tambahan barang satu kata pun.” Tugas pejalan adalah untuk mendengar dan mengerti dengan kesadaran, selaras terhadap guru sejati dan tarikat. Sebuah teks Hermetic menjelaskan hubungan antara guru sejati dan muridnya:

Anakku, kepentiganmulah untuk mengerti; dan tugaskulah untuk berhasil berbicara Dengan kata-kata yang keluar dari sumber yang mengalir di dalamku.

Tugas guru adalah berbicara, sementara tugas pejalan adalah mendengarkan. Saat mendegarkan guru, tak hanya kita mendengarakan kata-katanya tapi juga mendengar pada sumber darimana ia berbicara. Ini membutuhkan kualitas perhatian yang intens dan halus; Anakku, ia yang mendengar harus memahami sama seperti yang berbicara, berbagi kesadaran yang sama; harus bernapas sama dengannya, berbagi semanagat yang sama; pendengarannya harus lebih tajam dari suara sang pembicara.

Karena kita sekarang telah hadir sepenuhnya, berikanlah seluruh perhatianmu, Dengan seluruh kehalusan yang dapat engkau gapai, Karena pelajaran tentang Ketuhanan memerlukan konsentrasi kesadaran ketuhanan kalau ingin Mengerti. Ini seperti seperti arus sungai yang kencang dan jatuh dari ketinggian, Begitu kerasnya sehingga kecepatannya mengalahkan kecepatan perhatian sang Pendengar dan sang pembicara.

Mendengarkan adalah perhatian; tanpa perhatian, tidak ada pendengaran. Tanpa adanya sikap perhatian, kita mungkin mendengar tapi tapi tidak menangkap arti dari apa yang kita dengar, tak menyadari signifikasinya. Mendengar secara spiritual memerlukan penerimaan secara sadar, dimana kita tidak hanya mendengarkan kata-kata, tapi juga dari mana kata-kata itu bersumber. Sikap menerima itu terpatri didalam guru sejati; tanpa itu, ia tidak bisa mengajar. Guru sejati terus menerus selaras pada sumber dan menerima terhadap arahannya. Dengan memberikan semua perhatian pada guru sejati, pejalan dapat memperoleh kesadaran penerimaan ini- perhatiannya memungkinkan penerimaan ini terpatri dalam kesadarannya.

Perhatian guru sejati terpusat pada sumber gaib (tak terlihat), dan tugas pejalanlah untuk belajar untuk mencapai kualitas perhatian ini. Dengan memberikan seluruh perhatian pada guru sejati, pejalan belajar untuk fokus pada apa yang ada dalam diri guru sejati.

Saat perhatian pejalan terpusat pada guru sejati, perhatiannya dapat dipindahkan ke inti dari tarikat, arus yang datang dari sumber. Pemindahan salik kembali pada sumber, dilakukan oleh guru (sesuatu di dalam pejalan diserap oleh sesuatu yang berada dalam guru sejati). Tugas pejalan adalah tetap terpusat pada guru sejati.

Pejalan melihat pada guru sejati, mendengarkannya; sang guru mendengarkan pada sumber, dan tenggelam di dalamnya. Sang guru adalah yang bersatu dan akhirnya ini adalah apa yang dibutuhkan untuk dipindahkan pada salik. Teks Hermetik tidak hanya menekankan kebutuhan untuk berkonsentrasi, tapi juga “berbagi” atau kelekatan antara guru dan muridnya; guru harus berbagi kesadarannya…berbagi spirit yang sama.” Ini bukanlah pendengaran yang terlepas, bukan mendengarkan pada pengamatan objektif, tapi mendengarkan yang bergerak ke arah penyatuan, pendengaran yang tidak hanya pendengaran kita, tapi juga keseluruhan wujud kita, bersama dengan pembicara.

Bagaimana kita bisa mendengar dengan hati bila kita terlepas? Hati hanya terbuka pada keintiman, melalui kedekatan, melalui persahabatan dan cinta. Mendengarkan dengan hati, kita datang kepada sang pembicara, kita tertarik ke dalam lingkaran dimana si sumber, yaitu sang pembicara, dan pendengar, bersatu.

Di dalam hati terdapat kesadaran akan Diri, sebuah kualitas kesadaran yang merupakan milik kemanunggalan dan bukan keterpisahan. Saat kita mendengar dengan hati, kita mendengar dengan organ manunggal ini, di mana pada tingkat terdalam, kita telah bersatu dengan sumber darimana sang guru berbicara. Komunikasi kata-kata dan apa yang ada di balik kata-kata, membantu kita sampai pada pegetahuan yang sebeanrnya sudah diketahui oleh hati. Ini kenapa sebabnya, pendengar harus menyerahkan diri sepenuhnya pada mendengar dan pembicaranya, dan tidak terpisah, “harus bernapas bersama dengan dia.”

Mendengarkan dengan hati, kita mendengat kata-kata dan rasa darimana ia datang. Kita membuat hubungan kemanunggalan dengan guru. Mendengarkan pada guru adalah pekerjaan untuk membawa kemanunggalan hati ke dalam kesadaran pikiran, jadi mengerti bagaimana kemanuggalan berfungsi dalam dunia dualitas. Melalui kata-kata  guru, tidak hanya kita mendengar catatan-catatan kemanunggalan yang mendasarinya, tapi juga mengalami tarian perwujudan. Mendengarkan seorang sufi, bersiap-siaplah untuk tekecoh! Kalau anda menghakimi penampilan luar dari apa yang dikatakan, anda akan sangat mudah tersesat, terpaku pada apa yang kelihatannya dikatakan. Sehingga

anda akan kehilangan arti sebenarnya, pesan sesungguhnya.

Para sufi seringkali berbicara dalam paradoks-paradoks, sindiran, cerita-cerita. Apa yang terlihat sebagai cerita kocak, observasi selintas, mungkin punya arti yang dalam, atau mungkin hanya cerita kocak itu sendiri. Dan apa yang mungkin terlihat sebagai pengajaran kuat, mungkin benar-benar penting atau mungkin diungkapkan sebagai sampingan bagi murid-murid yang tidak siap. Sejak pertemuan pertama kali dengan guru ku, Ny. Tweedie, saat aku berusia 19 tahun, aku menghabiskan banyak waktu bersama Ny. Tweedie, mendengarkan “jaring yang ditenunnya, “ cerita-ceritanya, humor-humor dan pemahaman-pemahaman halus yang mengalir. Aku melihat para tamu yang mengira dirinya penting, diberikan kursi di sebelahnya dan didorong untuk berbagi pemahaman dengan anggota kelompok. Aku melihat dia membiarkan mimpi-mimpi ditakwilkan dengan salah, atau membesar-besarkan masalah yang kelihatannya tidak sesuai dengan proporsi. Seringkali dia berkata sesuatu yang dimaksudkan untuk orang lain- “berbicara pada dinding yang memungkinkan pintu untuk mendengar.” Dan selalu, bagi siapa saja yang mendengar selalu ada pertanyaan, “ Apa sebenaranya yang dikatakannya dan kepada siapa kata-kata itu ditujukan.”

Suatu hari, ketika dia merasa bahwa orang-orang yang datang ke seminar hanya karena penasaran, dia menghabiskan seluruh sesi pagi dengan membicarakan betapa hebatnya Ronald Reagan dan Margaret Thatcher itu, padahal tahu bahwa kebanyakan peserta adalah sosialis sayap kiri. Saat makan siang, banyak yang pergi dengan marah dan sebal, sehingga setelah itu, atmosfirnya menjadi cocok untuk berbicara tentang filosofi eksoteris sufi. Saat ia diundang pertama kali untuk berceramah di Swiss, ia menghabiskan dua hari berbicara tentang humor-humor, membingungkan orang-orang Swiss itu, yang tak yakin  bagaimana menanggapi ini. Tapi, bagi mereka yang tertawa karea humor, tidak dapat menangkap kekuatan pengajarannya: bagaimana sebuah jalan selalu berbeda dari yang kita harapkan, karena, “Tuhan bertolak belakang dari apa yang kau pikirkan itu pun yang engkau pikirkan.” Di tengah gelak tawa dan kebingungan, dia menawarkan pengalaman di tarikat -tidak hanya kata-kata yang begitu mudah dilupakan.

Orang-orang yang mengharapkan “pelajaran spiritual” diceritakan secara mendetail bagaimana caranya mengurus kucing atau merawat bunga. Salah seorang teman menghadap Ny. Tweedie setelah seminar spiritual, karena merasa terlalu banyak gossip di dalamnya. Ny. Tweedie, yang saat itu tidak biasanya sendiri, mengajak wanita ini berbicara di dapur. Setelah menyuguhkan secangkir teh, Mrs Tweedie duduk di hadapannya dan berkata, “Sekarang, mari kita berbicara gosip yang betul-betul bagus.”

Namun demikian, siangnya, Ny. Tweedie bercerita banyak tentang pengalaman dengan gurunya, dan tentang cinta yang menuntut segalanya. Dia berkata, “di dalam tarikat, seseorang harus melupakan segalanya, “ dan mengutip gurunya, “Seseorang tidak boleh teralih perhatiannya pada yang tidak penting.”

Mendengarkan dengan pikiran yang selaras ke hati, murid belajar untuk menangkap apa yang dikatakan dan apa yang tidak dikatakan, kehalusan pengajaran sufi. Kata-kata mungkin hanya berarti sebatas apa yang dikatakan, atau bertolak belakang dengan apa yang dikatakan, atau arti yang benar-benar tidak berhubungan. Yang terpenting adalah, seseorang tidak hanya mendengar pada kata-kata, tapi juga pada sumber darimana katakata datang, pada interaksi antara dua dunia yang merupakan pusat dari jalan sufi.

Pendengar harus berpartispasi, terbuka pada kecohan atau pun apa-apa yang terlihat benar. Bagaimana kita tahu apa yang nyata dari penampilan? Hanya pada saat kita telah merasakan kata-katanya (dzauq), kita dapat merasakan darimana kata-kata ini berasal, dan pada tingkat mana untuk mengertinya.

Pada seorang sufi, semua membawa aroma yang sama, tarian antara kemustahilan dan sindiran akan apa yang benar. Hanya pada saat anda menjadi bagian dari tarian anda dapat menangkap artinya, aliran halus dari ritmenya. Mereka yang hanya menonton, tidak akan pernah merasakan apa yang disampaikan. Kadang-kadang, kita harus membiarkan diri kita terkecoh, tersesat, karena hanya saat itulah kita dapat menangkap pesan yang lebih dalam, sumber yang berbicara dari kebingungan. Kita harus dapat menagkap signifikasi lebih dalam dari kehidupan ini, saat kita menjalaninya, di tengah semua kecohan-kecohan. Kita harus menangkap apa yang tersembunyi dibalik kejadian sehari-hari saat kita melakoninya.

Hidup adalah guru terbesar, tapi juga merupakan ilusi terbesar. Guru sufi pun memerankan dua hal ini, tapi wujudnya mengarahkan pada apa itu yang nyata. Guruku seringkali berbicara sesuatu yang bertolak belakang dan dangkal, ataupun pernyataanpernyataan yang kuat, tapi selalu saja tercium aroma lainnya. Mereka yang hanya menangkap kedangkalan, mungkin hanya mellihat seorang wanita tua berbicara tentang cuaca, bunga di taman, symbol-simbol mimpi, cintanya pada sheikhnya, sementara bagi yang terbenam dalam tarikat akan merasakan isyarat yang tidak akan pernah dikatakan secara langsung.

Menangkap isyarat, kedalaman arti dari sebuah situasi, adalah merupan tema sentral pengajaran dalam tarikat, karena, “Ia telah berkata , ‘Aku telah menyebarkan isayarat/tanda baik di ufuk maupun di dalam diri mereka sendiri.’” Tapi kita tidak akan pernah menangkap isyarat ini bila kita hanya melihat apa yang tampak. Guru adalah tanda itu sendiri; (Ayatullah-red) kediriannya adalah petunjuk ke sesuatu yang lain, sesuatu yang dihidupi dan dihirupi dalam setiap sel tubuh guru. Dan bila kita memberikan perhatian, kita bisa selaras terhadap bahasa isyarat ini, cara kehidupan menyembunyikan

misterinya sendiri dan juga menunjukkan arti sesungguhnya. Dengan mendengarkan pada guru, kita belajar untuk mendengar apa yang tersembunyi. Pada saat kita telah menangkap arti dalamnya, kita harus berpegang erat padanya, jujur pada apa yang telah kita temukan.

Tapi, pada saat yang sama, tidak semuanya adalah pengajaran, tidak segala hal mempunyai arti yang kuat. Kadang-kadang, seorang murid yang ikhlas akan melihat simbolisme yang tidak perlu atas pernyataan-pernyataan Ny. Tweedie. Pada saat ia bertanya dengan pertanyaan sederhana, “Apa kabarmu?” sang murid akan berpikir, apa maksud sebenarnya dari pertanyaan itu, isyarat apakah yang ingin disampaikannya?

Kehidupan sehari-hari dengan basa-basinya adalah juga merupakan jalan sufi, dan untuk selalu melihat pada kedalamannya, bisa juga mengecohkan. Bila kehidupan dijalani dari sumbernya, bagian lahir dan batin, hal-hal yang biasa dan hal-hal yang simbolis akan tergabung. Pada suatu malam, seorang maling mencoba memasuki apartemen guruku, dan pada saat ia menceritakan hal ini keesokan harinya, seorang wanita dari kelompok belajar ini, yakin bahwa ada arti batin dari kejadian itu, bertanya, “Apakah artinya?” Guruku menjawab, “Itu artinya, seorang maling mencoba masuk.” Menangkap Isyarat Ketuhanan Seluruh usaha mendengarkan ini, memahami, terkecoh dan bingung, adalah proses persiapan, seperti menyelaraskan instrumen musik sebelum konser. Guru lahiriyah selalu menunjuk pada guru batiniah, pada Dia yang selalu menunggu di dalam hati kita.

Melalui hubungan kita dengan guru kita, kita dipersiapkan untuk hubungan sejati inidengan menangkap isayarat dalam kata-kata guru, kita dilatih untuk menangkap isyarat ketuhanan:

Pertama-tama, seseorang belajar untuk menangkap isyarat Guru, kemudian, saat ia Telah menyatu dengan baik, ia menangkap Isyarat Ketuhanan, yang lebih cepat dari Kilat. Guru akan mengisyaratkan dulu, bila isyarat tetap tidak dimengerti, maka ia Mulai memerintahkan. Perintah sangat mudah dilaksanakan, tapi guru lebih suka kita Belajar dari menangkap isyarat itu sendiri. Guru dapat memberikan perintah berkali- Kali, bila salik tidak mengerti; tapi Tuhan tidak melakukan itu sehingga tapi isyarat itu akan hilang, dan salik harus menunggu Lama sebelum isyarat itu muncul lagi. Untuk menangkapnya, seseorang harus Bersatu secara mendalam, begitu bersatunya bahkan ia mencoba untuk mencari tempat Berpijak, karena sepertinya tidak ada tempat itu…

Untuk menangkap Isyarat, seseorang harus bertingkah sebagaimana harusnya, dan bahkan tidak mencoba untuk mengerti. Bertingkah sebagaimana harusnya, lebih penting daripada mengerti.

Menyatu adalah salah satu misteri terbesar dari tarikat: Bagaimana jiwa sang pejalan bersatu dengan jiwa sang guru (fana fi’sh-sheikh), dan kemudian menyatu dengan Nabi, bukan secara badaniah, tapi secara Esensi (fana fi-rrasul)dan kemudian menyatu dengan Allah (fana fil-Alah). Bagian dari proses menyatu ini adalah menberikan diri tanpa batasan, menyerahkan diri di luar semua ambang batas. Mendengar guru kita, kita memberikan diri sendiri, kita serahkan setiap pra-konsepsi (waham) karena hanya dengan demikianlah kita bisa menangkap isyarat atas apa yang dikatakan. Melalui pendengaran dan perhatian batin hati ini, hati kita terbuka kepada hati guru dan kita bisa dibawa ke dalam arus yang datang dari sumber.

Pengajaran sufi hampir selalu bukan hal yang termunculkan, karena Ia adalah selain Ia yang tampak. Saat kita berpikir bahwa kita mendengar kata-kata guru, kita membuka diri sendiri kepada apa yang lebih dalam daripada kata-kata, dan belajar untuk lebih menaruh perhatian kepada sumber darimana guru kita berbicara. Bila kita benar-benar menyerahkan diri kita pada mendengar, kita melintasi batas dari seorang pengamat yang terpisah, ke kesatuan hubungan yang nyata dengan guru. Mendengarkan, akan melepaskan kita dari dari diri sendiri, lepas dari perpisahan, menuju ke dalam lingkaran, di mana kata-kata, sang pembicara dan sang pendengar menyatu Meninggalkan semua waham dan perilaku “bagaimana bisa,“ kita memasuki ruangan pertemuan yang sebenarnya, sebuah pertemuan dimana dualitas melebur dan kita menyatu.

Hanya dari dalam lingkaran penyatuan inilah kita bisa menangkap isyaratnya, “yang lebih cepat dari kilat.” Isyarat Ketuhanan mengkilat hati kita, tepat di perbatasan kesadaran, dan sangat mudah sekali luput. Dengan belajar mendengarkan pada guru, kita menjadi lebih terbuka pada cara sang sumber berbicara, sehingga saat sumber itu berbicara langsung pada kita, kita siap menagkapnya, dan hidup di dalamnya tanpa perlu pengertian, hanya “Bertingkah sebagai mana seharusnya.”

Hidup di dua dunia, menyatukan hal yang lahir dan batin, mistis akan menunggu dan mendengar, dibimbing oleh suara batinNya yang terdalam:

Kami menuruti perintah, Kami memimpin kehidupan yang terbimbing. Dan inilah arti Dari hidup dalam KEABADIAN SAAT INI. Kita tidak berpikir tentang kemarin; kita Tidak berpikir akan esok; kita mendengarkan yang batin dan bertingkah sebagaimana seharusnya.

Dalam kehadiran abadi dari tarikat saat ini tersebut, hanya ada ‘kekinian’, hanya kebutuhan saat itu. Dalam momen ini, kebutuhanNya dan kebutuhan kita tercakup dalam lingkar yang sama. Hidup saat ini adalah kelemahan, dimana kita tidak terlindungi, baik dari masa lalu atau pun masa yang akan datang. Kita telah melangkah keluar dari dualitas waktu; masa lalu dan masa mendatang, dan kita bisa mendengar dan menanggapi kebutuhan yang nyata. Dalam waktu yang abadi, kita hanyalah milikNya.

Kita datang ke tarikat dengan banyak waham (pre-konsepsi), dengan begitu banyak ide tentang “bagaimana itu seharusnya.” Sedikit-sedikit, prejudis kita, terutama prejudis spiritual, dihancurkan dan dilarutkan; tanah pijakan kita mulai longsor. Hanya saat kita tertahan di waktu, dengan tidak ada tempat berpijak, kita dapat menangkap dan menaggap isyarataNya., pada kehalusan dan kecepatanNya, serta melaksanakannya tanpa ragu-ragu, tanpa pikiran-pikiran yang datang dari waham (pre-konsepsi), atau bahkan keinginan untuk mengerti. Mendengar padaNya adalah sebuah kedaan menyerahkan diri, penyerahan yang dipelajari melalui pengorbanan dan diberikan melalui penyatuan.

Sesuatu di dalam kita terbangkitkan untuk mendengar padaNya. Kita belajar untuk selalu menaruh perhatian, selalu terjaga, selalu mendengarkan. Menyerahkan diri padaNya, kita mengalami berada di sini karenaNya, menunggu perintahNya, siap untuk melaksanakan perintahNya. Kita semua di sini untuk Ia, karena Ia membutuhkan kita, dan karena kita telah bersumpah untuk menjadi saksiNya. Menunggu, mendengarkan, adalah lakon cinta, penghambaan dan komitmen. Kita menunggu dalam kepapaan, kepapan karena kosong keinginan dan karena kosong dari waham. Kita belajar untuk hadir di sini dan dalam kehidupan sehari-hari, hanya untukNya. BagiNya, tidak ada dualitas antara keduanya, dan kita harus menghormati kesatuannya. Ia adalah sang Sumber dan Air yang keluar dari sumber. Melalui penyatuan, kita menjadi tahu kesatuannya dan sesuatu di dalam kita menjadi selaras bagi Nya dan kebutuhanNya.

Kepercayaan Tidak mungkin belajar untuk mendengar tanpa kepercayaan. Tanpa rasa percaya, kita akan selalu dalam keadaan siap siaga; membuat perisai pelindung yang menjaga kita dari apa yang tidak bisa kita kendalikan. Mendengarkan adalah keadaan diri yang terbuka; semakin terbuka kita, semakin kita dapat mendengar. Dan karena pendengaran spiritual dilakukan dengan telinga hati dan juga telinga badaniah, hati haruslah terbuka.

Mendengarkan guru membutuhkan sebuah keadaan rawan tertentu, dimana kita menanggalkan pertahanan kita, meninggalkan pola-pola penyensoran. Mendengar pada Kekasih adalah benar-benar terbuka dan menyerah secara total, kaena bila tidak, kita akan sulit memahami isyaratNya bagi diri sendiri. Tapi, bagaimana kita bisa percaya apa yang tidak kita ketahui? Dalam kehidupan seharihari,

kita menggunakan kepercayaan dalam melakukan kebanyakan aktivitas rutin. Saat membuka keran, kita harus percaya bahwa air akan keluar, memesan tiket pesawat, kita harus percaya bahwa pesawat akan ada di pelabuhan udara dan pesawat ini akan membawa kita ke tujuan. Tapi, kepercayaan ini terjadi berdasarkan pengetuan nyata- kita pernah melihat air keluar dari keran. Juga, dalam aktivitas itu, kita tidak membuka diri kita yang terdalam dan ter-rawan. Bahkan kalaupun pesawat belum  datang di airport (tahu sendirilah, “masalah teknis”), kita hanya harus menunggu sebentar untuk pesawat berikutnya.

Dalam hubungan manusia, kita belajar tentang bahaya memberikan kepercayaan dan kerawanan karena terekspos. Akibat dari itu, lahirlah luka-luka, dan kita membuat polapola pertahanan. Kita bisa saja datang ke dunia tanpa pakaian dan tanpa pertahanan, tapi hanya sekejap saja, kemudian kita merasakan kesakitan orang tua kita, cemburunya saudara-saudara kita, permusuhan dengan teman-teman sekelas. Dari keterbukaan dan kemampuan insting saat kita masih bayi, kita belajar tentang pengkhianatan, kesakitan  dan membentuk pola-pola pertahanan diri sendiri, berupa dinding-dinding pertahanan emosi. Pola inilah yang kita bawa ke arena cinta dan kemanusiaan, ke dalam setiap hubungan yang menyentuh kita di bawah permukaan.

Tapi, apapun kesulitan dalam mempercayai apa-apa yang kita cintai, apa-apa yang kita ingin cintai, setidaknya ada seseoarng di sana, seseorang yang tangannya dapat memeluk kita, yang luka-lukanya bisa kita lihat untuk dipelajari. Kita dapat merasakan cara kita menuju ke dalam labirin cinta kemanusiaan kita, tahu saat kita dipeluk dan saat kita ditolak. Kita juga dapat menarik diri ke dalam, bersembunyi dan mempertahankan diri sendiri. Bahkan dalam hubungan cinta yang paling koyak sekali pun, hubungan yang paling tragis, kita terpisah dari seseorang yang kita cintai dan perpisahan ini adalah pertahanan kita yang terbesar. Ketika setiap bagian luar kepercayaan telah dilanggar, maka ada tempat jauh lebih dalam dari luka-luka itu, sebuah rahasia diri di dalam inti kewujudan kita.

Perjalanan spiritual menempatkan dua kendala dalam menyerahkan diri kita pada kepercayaan. Pertama-tama, tidak ada objek nyata dari kepercayaan kita, dan, pada satu keadaan atau keadaan lainnya, kita seperti “Thomas sang Peragu, “ murid yang tidak bisa percaya akan kebangkitan Kristus sampai tangannya sendiri menyentuh luka-luka Kristus. Bagaimana kita bisa percaya apa yang tidak pernah terlihat, terasa, terdengar atau pun tersentuh? Bagaimana kita bisa menyerahkan diri pada apa yang pikiran kita tidak pernah tahu? Juga kita tidak bisa menguji Tuhan ini yang kita seharusnya percaya, dan seringkali kita menguji sebelum kita percaya-pokoknya, kita mendasarkan kepercayaan terhadap apa yang kita ketahui Ia menuntut kita untuk memberikan diri kita sendiri padaNya tanpa bukti atau batasanbatasan.

Dan inilah kendala kedua yang terbentang di jalan kita: derajat pemberian yang Ia tuntut. Kita tidak bisa percaya padaNya “sampai di sini saja, tak lebih..” Percaya kepadaNya harus total, bila tidak maka tidak ada kepercayaan. Percaya padaNya, kita mempersembahkan diri kita pada kesatuan yang temasuk segalanya, termasuk diri kita sendiri. Ia adalah tunggal dan ia tidak tidak terpisah dari kita. Ketika kita memberikan diri sendiri untuk mempercayaiNya, tidak ada tempat untuk bersembunyi, tidak ada tempat untuk berhenti. Ia adalah rahasia diri kita. Ia adalah inti dari kedirian kita, seperti halnya Ia adalah setiap daun dari setiap pohon. Karena tidak ada selain Ia, untuk mempercayaiNya adalah ketotalan dalam menyerahkan kerawanan itu sepenuhnya.

Bagi kebanyakan orang, derajat kerawanan ini terlalu mengancam, bahkan untuk mempertimbangkannya sekali pun. Setiap sel dari pertahanan-diri menahannya ke belakang, setiap luka, setiap pengkhianatan yang telah mereka rasakan mengatakan TIDAK!. Bagaimana manusia membuka diri terhadap sesuatu yang tidak dapat disentuh, tidak dapat diketahui, dan tak dapat dibatasi? Setiap insting untuk bertahan hidup menghadang kepercayaan yang total dan tak bersyarat itu. Tapi, sementara sifat insting ini menarik kita menjauhi batas itu, jiwa tahu sifat kepercayaanNya. Jiwa merindukan untuk hidup dalam kepercayaan ini, untuk memberikan padaNya yang tidak akan pernah mengkhianati kita, yang melukai kita hanya untuk membawa kita kepadaNya, yang merengkuh semua kehidupan kita, darimana tidak ada sesuatu pun tak termasukkan. Pengetahuan jiwa akan kepercayaan padaNya, diberikan olehNya; ini merupakan bukti perjanjianNya dengan ciptaanNya.

Kita bawa pengetahuan jiwa itu ke dunia ini sebagai keinginan untuk menyembahNya dan kebutuhan untuk menyerahkan diri sendiri pada Dia. Namun demikian, sangatlah sulit untuk hidup, untuk menghidupkan kepercayaanNya dalam diri ini, dimana dalam lingkaran kemanunggalan, kita tahu bahwa itu adalah kepercayaan kita padaNya.

Di sini, hubungan dengan guru membantu, adalah merupakan langkah awal kepada hubungan dengan Kekasih. Guru adalah kehadiran yang nyata, tapi juga hidup dalam kualitas jiwa milik ruang di luar jangkauan. Guruku selalu berkata, “Jangan percaya padaku, perempuan tua yang duduk di hadapanmu. Percayalah sesuatu di dalamku, bagian dariku yang berada di tempat lain.” Jiwa guru menyatu dengan jiwa gurunya, kepada guru-guru di atasnya yang merupakan milik tarikat, yang merupakan tarikat.

Inilah yang harus pejalan percaya, bukan penampilan fisik guru. Bagi pejalan, awalnya lebih mudah untuk percaya pada manusia, seseorang yang kita bisa memproyeksikan Diri kita yang lebih Tinggi, sifat keilahiyahan kita sendiri. Awalnya, ini bisa diterima. Tapi, bila kita menempatkan rasa percaya berlebihan pada tampakan luar guru, maka kita akan terperangkap dalam tampilan lahiriah dan akan berakhir dalam perasaan sedih, tertolak dan bahkan merasa dikhianati. Walaupun demikian, bila pejalan menangkap sifat asli dari hubungan dengan guru, kepercayaan pada guru akan berkembang pada kepercayaan pada Tuhan.

Esensi dari guru adalah sebuah ruang kosong, dimana melaluinya, apa yang ilahiyah dapat termanifestasikan, bisa terdengar, bisa tertangkap dengan hati yang selaras dengan cinta. Tugas guru adalah menjaga kekosongan batin ini, menaruh perhatian pada kebutuhan pejalan, dan menjaga hubungan dengan apa yang sebenarnya Nyata. Melalui hubungan ini, pejalan dapat belajar untuk mempercayai apa yang tidak terlihat, tidak dapat disentuh, tapi dapat dirasakan di dalam hati, dikenal di dalam jiwa. Sebagai penjaga pintu kemuliaan, sang guru membantu pejalan untuk menemukan kedalaman kepercarcayaannya pada sang Kekasih.

Kepercayaan pada Tuhan adalah hadiah yang diberikan oleh Dia untuk menolong kita datang padaNya, untuk menolong kita melangkah ke kekosongan dari kehadiranNya. Sekali kita merasakannya, sekali kita telah mengetahui sifat dari kepercayaan ini, merasakan keabsolutan kualitasnya –yaitu merangkum seluruhnya- kita tidak dapat hidup tanpa kepercayaan itu. Kepercayaan kita padaNya dapat menjadi lebih kuat dari kepercayaan pada diri kita sendiri maupun dunia. Hanya Dia yang sempurna, hanya Ia yang merangkum seluruh seluruh aspek diri dan hidup kita. Jalan ini menunjukkan ketidakmamuan dan kesalahan-kesalahan kita, dan juga memperlihatkan sifat dunia fisik ini yang penuh ilusi. Kenapa kita harus percaya pada ilusi pada saat kita bisa percaya

pada Yang Nyata? Mengapa kita harus percaya pada yang sementara padahal kita dapat percaya pada sesuatu Yang Abadi? Jalan spiritual mempunyai logikanya sendiri, dan walaupun pikiran tidak dapat mengetahui Dia, pikiran dapat menagkap rasa mempercayai Dia, percaya pada Pencipta di atas segala ciptaan.

Secara pribadi, aku selalu melihat bahwa lebih mudah untuk percaya Tuhan daripada percaya pada seseorang, untuk percaya pada yang tidak terlihat dan tidak nyata daripada percaya pada dunia yang tidak sempurna. Aku lebih bisa memberikan diriku pada kekasih yang tak terlihat, kepada sesuatu yang tersembunyi dalam hatiku, dibandingkan pada yang “lain.” Saat hubungan manusia terperangkap dalam kontradiksi-kontradiksi dan agoni dualitas, Ia memberikan seutuhnya, dan hati tahu akan kemenyeluruhan ini.

Banyak yang memiliki rahasia di dalam hati mereka sendiri, telah diberi label oleh Tuhan sehingga mereka hanya dapat menjadi milikNya. Pada saat yang tepat dalam kehidupannya, tarikat ini membangunkan pengetahuan ini, dan perlahan-lahan mereka mengetahui kenapa dalam cinta kemanusiaan, mereka selalu merasa tidak cukup. Ia memberikan kemampuan untuk percaya padaNya, tapi kita harus merengkuh yang tidak diketahui (unknown) agar dapat menangkapnya. Kita harus melangkah dari ego ke Diri. Agar kita bisa terbuka, kita harus menyerahkan diri kita, menulis cek kosong bagi keseluruhan diri kita. Di antara kita ada yang menyerahkan dirinya sejak dahulu, tapi kita tetap harus menerima dan hidup dari pemberian ini. Kita harus belajar untuk mendengar padaNya, yang hati sudah mengenalNya. Membiarkan keterbukaan jiwa kita pada kehidupan sehari-hari dan menyadari kerawanan yang dimintanya. Kita harus membiarkan hati kita selalu terbuka untuk mendengar isyaratNya.


The Golden Sufi Center
THE CIRCLE OF LOVE
/

Pepatah Persia dalam kulit buku, dari Hafiz,
“Kita bukan datang ke pintu ini, mencari kebesaran dan kemenangan.”
Keluarlah dari lingkaran waktu
Dan masuklah ke dalam lingkaran cinta Rumi
Apakah artinya kemapanan dalam kafilah
Bila setiap saat lonceng sang unta berbunyi,
“Angkat muatan”?
Kegelapan malam, ombak yang menakutkan
Pusaran air yang mencemaskan.
Bagaimana mereka tahu keadaan kita
Mereka yang berjalan ringan di sepanjang pantai?
(Mereka yang tidak pernah menyelam ke kedalaman samudra)
/
REFLEKSI DAN JIWA ADALAH AHAD


Tidak ada komentar: