Laman

Selasa, 07 Oktober 2014

THE CIRCLE OF LOVE - (Membebaskan Diri)

Semoga Allah (Yang Maha Agung), memberikan keberhasilan bagi kita dan kamu dalam setiap hal yang Ia inginkan dan cintai, baik perkataan maupun perbuatan, baik teori maupun praktek, baik dalam cahaya dan bimbingan. Sungguh, Ia maha Kuat dan Maha Menjawab. (Ibn Arabi).

Memiliki Daya Kekuatan Sendiri
Pria dan wanita yang impoten, tidak dapat menyadari Kebenaran. Insting prokreasi adalah manifestasi dari energi penciptaan milik Tuhan. Energi ini –yang merupakan hal terkuat dalam manusia- dibutuhkan baik oleh pria maupun wanita dalam mengarungi tarikat ini.

Bagian awal dari usaha dalam jalan ini adalah mem-fokuskan energi salik sehingga dapat digunakan untuk menjalani proses menyadari Kebenaran (Al-haqq). Di dalam jalan sufi, energi seksual tidaklah ditransmutasikan seperti halnya dalam Tantra, (dalam Tantra, energi seksual yang terpusat di alat genitalia, dibawa naik ke setiap cakra hingga cakra mahkota,  menjadikannya terubah dari sekedar energi genital menjadi energi bagi keseluruhan tubuh-red) tapi sumber kreatif penciptaan dan instingsi-nyalah yang dipergunakan. Energi instingsi ini dapat dialami baik sebagai daya kekuatan maupun hawa nafsu.

Walaupun sufisme merupakan jalan penghambaan dan penyerahan diri, penyerahan ini tidak pasif, namun dinamis menggunakan sumber energi terdalam untuk tujuan melebihi dan mentransmutasikan hawa nafsu, atau ego dan sifat-sifat rendah lainnya. Daya dasar yang bergejolak dalam manusia, dipergunakan semata-mata bagi Diri, bukannya bagi tujuan keinginan ego. Salik tetap memiliki keinginan seperti orang lain, tapi ia bukanlah budak dari kehendaknya sendiri. Apakah keinginan ini terpenuhi atau tidak, ini tidak penting karena tujuan terdalam, keinginan terhadap Al-Haqq, telah menguasainya. Saat kebanyakan orang menggunakan dayanya untuk memenuhi keinginan ego, salik menggunakan dayanya untuk memahami keinginan Al-Haq.

Tumbuh kembang dan beradaptasi dengan pengkondisian budaya seringkali menekan kekuatan daya. Kita diajarkan untuk memenuhi keinginan kita sebatas kerangka sosial yang lumrah, dan ini penting untuk kebaikan komunitas masyarakat. Budaya yang satu, berbeda dengan budaya yang lain dalam penekanan keinginan-keinginan yang berbeda.

Contohnya, budaya para pendekar gunung membesarkan insting bertempur tapi menekan insting seksual dengan pelarangan budaya yang kuat, sementara budaya Eropa yang lebih liberal, membiarkan kebebasan seksual tapi tak mempunyai tempat untuk mengembangkan energi primal kependekaran. Juga, dalam dinamika keluarga, energienergi tertentu ditekan karena berbagai alasan. Contohnya, bila salah satu orang tua berperan kuat sementara orang tua lainnya berperan sebagai korban, maka seorang anak akan menekan kekuatan dayanya daripada berhadapan dengan pola keluarga, bisa juga memilih untuk berperan sebagai korban. Jalan spiritual membantu membebaskan untuk kemudian menggunakannya daya-daya yang tertekan ini dan, bukannya malah dipergunakan oleh daya-daya ini. Kita menjadi tuan dari instingsi diri ini dan mengarahkan energi ini pada tujuan.

Awalnya, energi ini harus dibebaskan dan kemudian digunakann. Membebaskan daya insting seseorang melibatkan penghadapan diri pada tabu budaya atau dinamika bayangan keluarga yang merupakan agen penekanan ini. Pekerjaan psikis ini sangat menyakitkan dan penuh tuntutan, saat kita turun ke dalam kegelapan dari ketidaksadaran dan menghadapi figure-figur atau ketakutan yang telah merantai kita. Ketidaksadaran menggunakan banyak cara untuk mempertahankan “tawanannya, “ di antaranya adalah perasan bersalah, rekriminasi (merasa bersalah akan perbuatan kriminal-red) diri dan keragu-raguan. Ada juga kemungkinan takut dasar untuk merasakan kekuatan diri dan menguasainya. Tekanannya sangat kuat bagi seorang korban keadaan ataupun korban diri sendiri untuk tak bergerak dalam keadaan tertekan ini. Untuk keluar menuju cahaya daya kita sendiri, membutuhkan keberanian dan keyakinan, sebagaimana kata-kata Nelson Mandela di hari pelantikannya, yang sangat kuat terekspresi: Ketakutan kita yang terdalam adalah bukannnya kita tidak memadai.

Ketakutan terdalam kita adalah bahwa kita sangat kuat di luar batas ukuran. Yang membuat kita ketakutan adalah cahaya kita, bukan kegelapan. Kita seringkali mempertanyakan diri sendiri, “Siapakah saya, bermimpi untuk menjadi brilian, menarik, berbakat, hebat?” Sebenarnya, siapakah engkau untuk tidak menjadi (semua kekuatan itu)?” Kamu adalah anak-anak Tuhan. Peran kecilmu tidak akan menolong dunia. Tidak ada yang dibanggakan, untuk menciut sehingga orang lain tidak merasa aman berada di sekelilingmu. Kita diciptakan untuk bercahaya seperti halnya anak-anak. Kita terlahir untuk memanifestasikan keMegahan Tuhan dalam diri kita. Ini tidak hanya bagi beberapa orang saja, ini adalah bagi setiap orang. Dan saat kita membiarkan cahaya kita sendiri benderang, secara tidak sadar kita telah membolehkan orang lain untuk menjadi seperti itu juga. Saat kita terbebaskan dari ketakutan kita, kehadiran kita akan membebaskan orang lain secara otomatis.”

Mengapa begitu sulit untuk memiliki kekuatan diri sendiri? Karena pada saat itu, kita harus hidup di dalamnya,hidup dari kedalaman kedirian kita, dan bertanggung jawab atas perbuatan kita. Sepanjang kita tidak mempunyai kekuatan kita sendiri, kita bisa terus menyalahkan orang lain, masyarakat, orang tua kita, pasangan, bahkan anak-anak sendiri.

Tapi, pada saat kita melangkah ke lingkaran kekuatan kita sendiri, tidak ada yang dapat disalahi, tidak ada lagi yang membawa keyakinan atau keraguan diri sendiri. Kita begitu sendiri dengan takdir kita dan potensi untuk hidup dalam takdir itu.

Mengapa kita ingin menghindari takdir kita sendiri, untuk hidup di bawah bayangan kita sendiri? Untuk merengkuh takdir kita seluruhnya, sama artinya kita harus berdiri sendiri di hadapan Tuhan di gelanggang dunia ini. Ketakutan kita telah menciutkan kita ke dunia bayangan pada sesuatu yang kita sudah sangat kenal. Hidup dalam cahaya mengancam kita untuk hidup dalam ketidaktahuan, kemungkinan untuk gagal, atau bahkan, yang lebih menakutkan lagi adalah ketakutan untuk berhasil. Bagaimana kalau kita hidup dengan mimpi kita yang terdalam tapi kemudian tak berhasil? Bagaimana kalau hidup tidak menjawab kebutuhan kita yang telah kita akui dan tidak ada jawaban dari doa-doa kita? Atau, apa yang terjadi saat kita mentrandensikan keterbatasan kita kemudian melangkah pada dimensi Diri yang lebih besar? Bagaimana kita akan terbuka pada kerawanan dan ketidakpastian hidup di bawah cahayaNya?

Ada berbagai resiko yang harus kita ambil, resiko yang menakutkan tapi sangat penting. Harus ada panggilan untuk keluar dari kegelapan dan kemudian kita harus menjawab panggilan ini, menjawabnya tanpa peduli akan konsekwensinya, tanpa kendala berhasil atau gagal. Rumi menjelaskan bagaimana jalannya bukanlah jalan bagi “orang-orang yang rapuh, mudah pecah seperti gelas botol:” Jalan pengorbanan diri, Tapi juga jalan para prajurit, dan bukan Untuk orang-orang rapuh, yang mudah pecah seperti botol gelas. Jiwa diuji di sini dengan terror yang sangat besar Sebagaimana saringan bergerak dan memisahkan Yang asli dari yang palsu Dan jalan ini penuh dengan jejak kaki! Para sahabat pernah menempuh ini sebelumnya Mereka adalah tanggamu. Gunakan mereka!

Banyak orang lain telah menempuh ini sebelum kita, telah merasakan arti kebebasan sesungguhnya dan kepahitan dari angin Kebenaran. Mereka meninggalkan jejak-jejak kaki mereka dan kata-kata penuh dorongan, seperti kata Abu Said, “Apa yang menjadi takdirmu, maka hadapilah!” atau Cecil Collins, seorang pelukis mistis dari Inggris berkata, “ Sangat sulit untuk hidup dalam mimpi, tapi bahkan lebih sulit untuk hidup tanpa mimpi!”

Apakah yang benar dan apakah yang salah? Apakah keyakinan kita yang sesungguhnya, takdir kita dan kebutuhan kita sesungguhnya? Hanya pada saat kita berdiri di bawah cahaya kita sajalah, kita dapat membedakan yang benar dari yang salah, apa yang merupakan milik kita dan apa yang dipaksakan pada kita, atau apa yang kita telah manipulasikan untuk terbawa pada kita? Saat itulah kita dapat merasakan kebenaran kita sendiri, apa yang telah terpatri dalam jiwa, bukan sesuatu yang dikatakan pada kita atau kita telah percaya begitu saja. Kita sangat kuat di luar ukuran, karena kita tercipta dari citra-Nya, yang merupakan kekuatan di luar batas. Kita menciut darinya karena kita tidak mau merengkuh keilayahan kita, untuk membawa keyakinan hati ke jalan apa pun yang kita pilih untuk tempuh, kemana pun takdir ini membawa kita.

Apakah kita milik orang tua kita, milik orang lain, teman-teman atau bahkan musuh-musuh kita? Atau kah kita milik apa yang tersembunyi di dalam kita, tersegel dalam hati? Apakah kita punya keberanian untuk menantang dunia, untuk menyadari, “Kamu adalah penjaga khazanah cahaya Tuhan-maka datanglah, kembali ke akar dari akar dirimu sendiri,” dan kemudian untuk hidup dalam cahaya diri tersembunyi ini, di kehidupan sehari-hari, tanpa peduli semua kesalahpahaman yang akan membombardir kita? Apakah kita punya kekuatan untuk mengingat apa yang dunia telah lupakan, dan hidup dalam ingatan ini dalam setiap nafas wujud kita? Jauh lebih mudah untuk tetap hidup dalam setengah-cahaya penuh dengan kemungkinan-kemingkinan yang tidak hidup, bahkan tak perlu mengakui apa yang telah hilang dari kita.

Terperangkap dalam Pengkondisian Salah satu paradoks dari perjalanan batin berupa kekuatan yang diperlukan dalam membongkar pola-pola pengkondisian, seringkali terkunci di pola-pola ini sendiri.

Pengkondisian ini telah memintal sarangnya dengan begitu hati-hati sehingga kita terjebak, tidak dapat menemukan energi yang kita perlukan untuk menyadari potensi kita. Bawah sadar meyakinkan bahwa kita tak tertolong, dan kita menerima pola-pola impotensi dan ketergantungan yang kita kenal. Kadang-kadang pola-pola ini terjalin begitu dalam seakan-akan berasal dari berabad yang lampau, dan membawa beban kolektif pengkondisian. Mimpi berikut ini membawa perasaan intens dan menyakitkan dari korban: Saya ditahan oleh seorang gila di dalam gua yang gelap dan abu-abu. Aku terbaring, diikat pada panggung kayu yang tinggi. Wajah maniak orang gila itu terapung-apung di udara.

Siksaan yang tak terkira dijatuhkan padaku terus menerus tanpa bisa mengingatnya. Aku cuma ingat bahwa itu seperti kepedihan yang tak berakhir. Tiba-tiba, ada seorang wanita yang dikirim oleh orang gila itu. Dia berbaring di sebelahkku dan awalnya berlagak simpatik karena dia juga seorang wanita. Kemudia, dia berada di atasku, sehingga aku tahu bahwa ia besekongkol dengan si gila.

Dalam ketakutan, kini aku menyadari bahwa aku sedang diperkosa. Aku berpikir dalam diriku, “Kini aku mengerti bagaimana perkosaan itu begitu menakutkan sampai orang hanya dapat membedakan kesadaran sepenuhnya dengan pengalaman, agar tetap bisa jujur pada dirinya sendiri di tengah-tengah horor tersebut. Setelah itu, aku kosong dari waktu.

Waktu aku kembali sadar, aku melihat diriku berada di bawah, jauh di bawah tanah. Saya betul-betul sendiri dan diabaikan, sejak lama sekali, terantai di tangan dan kaki ke dasar kolam renang yang kotor. Aku merasa seakan-akan telah ada di tempat ini selama 200 tahun.

Ruangannya terdiri dari dinding keramik putih yang kotor dengan hanya satu window, terletak cukup tinggi sehigga memungkinkan sedikit cahaya masuk. Tidak ada seoranpun terlihat. Kolamnya gelap dan menakutkan. Kelihatannya aku telah lama dilupakan, tapi aku masih takut kalau-kalau penjaga si orang gila masih ada.

Tapi, keinginanku untuk bebas dari tempat dan kondisi ini begitu kuat-hanya ingin bebas-, hingga aku mengangkat tinjuku ke udara, dan herannya, semua rantai itu luluh lantak. Rantai itu sudah tua. Aku meninju lagi dengan tangan yang sebelahnya, dan hal yang sama terjadi lagi. Aku melepaskan rantai kakiku dengan cara yang sama. Aku telah memerdekankan diriku sendiri dengan keinginan untuk bebas! Aku tak peduli dengan kemungkinan adanya penjaga! Aku harus bebas.

Saat aku memanjat sisi kolam renang itu, aku menyadari bahwa aku tidak berpakaian sama sekali, tapi aku merasa, “Aku tak peduli. Kalau aku harus berjalan tanpa pakaian di jalanan umum sampai akhir hidupku, aku tak peduli. Aku bebas,dan aku tak akan pernah kembali lagi ke tempat itu!!!” Saat memanjat keluar, aku melihat bahwa ruangan itu telah tertransformsi menjadi ruangan terbuat dari pualam putih yang terpoles cemerlang, diterangi dari lantai ke atas.

Sebuah ambang pintu besar dan melengkung muncul, dan aku merangkak keluar. Sudah berapa lamakah sang pemimpi ini menjadi korban, tertahan di udara, terantai di air bawahsadarnya? Dalam mimpi ini, dia mengalami intensitas buruk dan penderitaan berabad-abad dari kesulitannya. Ini adalah salah satu yang keluar dari salah seorang wanita yang mengikuti grup meditasi, ketika ia menceritakan mimpi ini. Dia telah menjadi korban, dianiaya oleh maskulinitas, yang kepala maniaknya, melayang di udara, berupa imaji maskulinitas kesadaran yang seringkali terputus dari badan. Kualitas maskulin (kepala) yang terpisah dari tubuh ini pun, adalah merupakan penganiayaan yang menyakitkan bagi sisi feminin, sang pembawa keutuhan suci dari kehidupan di badannya. Tapi, yang paling menyakitkan adalah perkosaan oleh feminin, oleh seorang wanita yang bersekongkol  dengan kegelapan. Wanita ini, bertingkah seakan-akan simpatik, datang padanya dengan penuh kepura-puraan, penuh duplisitas dari diri femininnya, yang telah tergadai pada nilai-nilai maskulinitas. Pemimpi ini diperkosa oleh bayangannya sendiri, dari ketidakmampuannya untuk menghargai dan hidup dengan sifat feminitasnya sendiri.

Keadaan ini menggaungkan sebuah mimpi temanku lainnya, dimana ia bersama wanita lain, kemudian dua orang laki-laki datang dan ingin menjadikan sang pemimpi, pelacur. Pemimpi tidak ingin menjadi pelacur, tapi teman wanitanya berkata; tidak apa-apa, “Ia sering melakukannya, dia hanya berpikir pada hal lainnya.” Diperkosa oleh bagian femininnya sendiri adalah lebih menyakitakan daripada apapun yang diperbuat maskulin, karena perbuatan itu membangkitkan rasa tak berdaya menyeluruh dan rasa dikhianati. Begitu dalamnya kesedihan wanita ini hingga ia berniat kuat untuk keluar saja dari tubuhnya dan dari luka-luka hidup. Terperangkap tak memiliki jalan keluar, ia adalah korban, dimana cara keluarnya adalah “untuk memisahkan ketidaksarannya dari pengalaman itu.” Kemudian ia pingsan, karena pengalaman itu terlalu menyakitkan untuk diterima – sama seperti pemimpi ke dua yang menolak pengalamannya sebagai pelacur dengan “berpikir hal lain saja.” Kita dengan cara masing-masing menghindari konfrontasi secara sadar, dan menerima saja keadaan “tidak mungkin” ini, rasa sakit dari penjelmaan kita – apa pun, kecuali mengakui bahwa kita terperangkap, dan dilecehkan secara begitu menyakitkannya. Namun, dalam penghindaran diri ini, kita semakin terbelenggu erat, karena kesadaran hanya satu-satunya jalan untuk kebebasan. Ketidaksadaran adalah perangkap terbesar, walaupun itu terlihat sebagai jalan melarikan diri yang gampang.

Dalam dongeng, panyihir menusuk sang putri dengan jarum beracunnya, dan ia tertidur, terbawa ke alam ketidaksadaran. Ini adalah kekuatan feminine negatif yang memintal jaring ketidaktahuannya, tidur-nyaman yang melupakan. Mengapa menderita, kalau kita bisa melupakannya? Mengapa menantang kesakitan, kalau itu dapat mudah dihindari? Dalam keinginan untuk menghindari apa yang tak tertahankan, kita menggadaikan hadiah ilahiyah berupa kesadaran, pada ketidaksadaran. Ini adalah kolam renang dari psike-nya dimana pemimpi menyadari bahwa ia terikat, begitu lamanya. Pola-pola penghindaran, dapat bertahan selama hidup, dan juga membawa kesakitan kolektif. Sudah berapa lama sisi feminin ini membiarkan dirinya sendiri terantai dengan nilai-nilai maskulin? Berapa banyak penderitaan telah ia tekan selama berabad-abad? Dalam kesedihan intens milik mimpi, pemimpi merasakan baik sakitnya sendiri maupun sakit kolektif, dan akhirnya dia memutuskan untuk membebaskan diri.

Keputusan untuk membebaskan diri dengan segala upaya adalah merupakan titik balik dari mimpinya. Dia tidak lagi menerima dominasi perempuan yang memperkosanya, sisi feminin yang bekerjasama dengan sisi maskulin. Dia tidak lagi menerima keimpotensiannya. Kekuatan ketidaksadaran, membohongi kita untuk percaya bahwa kita tidak dapat melakukannya, kita tidak dapat mengubah pola-pola yang memenjara kita. Kita diyakinkan dengan pola pengkondisian kita, dengan bayangan, dan tetap terantai, sampai ke leher kita di air ketidaksadaran.

Ketidaksadaran tidak ingin korbannya bebas; ia tidak ingin kita memperoleh kekuatan kita sendiri. Dengan argumen yang halus, dia tahu cara terbaik untuk membuat kita ragu akan kemampuan kita, meyakinkan kita akan ketidakmampuan kita; ditambah dengan racun kelupaan, ia menjadikan kita narapidananya. Kekuatan ilusi yang dipintalnya, terlihat dalam mimpi melalui fakta bahwa pada saatnya si pemimpi memutuskan rantainya, barang itu luluh karena begitu tuanya. Hanya perasaan kalahnyalah, karena terperangkap, membuat ia percaya akan kekuatan rantai itu. Tapi pada akhirnya, keinginan untuk bebas begitu kuat sampai dia siap pergi meninggalkan dunia sebagai ia yang “telanjang:” kalau aku harus berjalan di jalan umum tak berpakaian selama hidupku, aku tak peduli. Dengan menerima kerawanannya sendiri, ia tidak lagi menjadi tawanan orang gila itu, tidak lagi terperangkap dalam pola penghancuran-diri-sendiri dimana ia dulunya adalah si korban. Kerawanan, seringkali merupakan hadiah kebebasan. Seringkali kita menutupi kerawanana kita dengan pola-pola penghancuran diri sendiri, fobia atau adiksi (ketergantungan). Pola penghancuran diri sendiri, merupakan cara efektif untuk mengukuhkan rantai kita sendiri, dan juga potensi untuk membebaskan, daripada harus hidup dalam ekspos yang menakutkan dari sekedar menjadi dirikita sendiri yang telanjang . Kadang-kadang, kita menemukan daerah karakter terlemah kita dan pada titik itu, menyerang diri sendiri. Kadang-kadang, perusakan diri ini begitu berhasil sehingga kita tidak perlu lagi menghadapi kesakitan kerawanan kita yang terdalam. Dalam hal lainnya, dinamika pertahanan, cukup memadai untuk mengalihkan perhatian kita, dan kita tetap tidak sadar dinding puri yang kita bangun, menjadi dinding penjara kita sendiri.

Seringkali kita kehilangan kunci gerbang puri itu dan tetap terkunci, lama setelah semua musuh pergi.

Ada juga individu yang lahir dengan sensitivitas yang matang, sehingga terlalu sakit untuk menahannya, terutama bila ia tumbuh di sebuah keluarga atau lingkungan yang tidak mendukung atau tidak menghormati sensitivitas seperti itu, atau bahkan menyerang senditivitas yang lingkungan itu tidak memahaminya. Pejalan spiritual kadang-kadang datang ke dunia ini dengan kualitas sensitivitas hubungan dengan Tuhan, yang merupakan bawaan sejak lahir, sebuah keselarasan halus menuju jalanNya, yang tidak ada gaung ke dunia lahiriyahnya. Tanpa ada gaung atau penampungnya, anak tidak akan mengerti maksud keselarasan batin ini. Kemudian, dinamika (sebab akibat) akan berkembang dimana ia menyerang sensitivitasnya sendiri, daripada harus menanggung rasa sakit untuk tidak disadari. Jadi, hal berharga itu, milik jiwa, terlecehkan dan terluka. Hanyalah setelah itu, saat pejalan menemukan grup spiritualitas atau guru yang menghargai sensitivitas itu, maka luka itu dapat terbuka dan disembuhkan. Pejalan dapat mengklaim kembali penyelarasan batin ini dan hidup dengan tujuan sejatinya.

Pemimpi itu, menderita tidak hanya dari rasa sakit kolektif feminin, tapi juga dari sifat penghambaan yang asing bagi budaya maskulin. Ia telah mencoba untuk membuka jalan pada budaya materi yang tidak mengerti perilaku batin berupa berserah diri, dan menjadi begitu terpenjara dan tersiksa oleh kepala maniak itu serta pola pengkorbanan dirinya sendiri itu. Tapi, kini ia telah menekukan kunci dari kerawanannya itu, dan ruangan penjaranya berubah dari tempat tegel berjamur menjadi pualam putih terpoles, “dicahayai dari lantai ke atas.” Ia telah menyadari cahaya yang datang dari landasan kefemininan dari wujud sejatinya, jalan melewati lengkungan , simbol kuno dari memulai. Dia tidak peduli dia tidak berpakaian, tidak lagi terlindung dari nilai-nilai kolektif atau pola-pola penolakannya sendiri. Dia hanya peduli pada kebebasan menjadi diri sejatinya.


The Golden Sufi Center
THE CIRCLE OF LOVE
/
Pepatah Persia dalam kulit buku, dari Hafiz,
“Kita bukan datang ke pintu ini, mencari kebesaran dan kemenangan.”
Keluarlah dari lingkaran waktu
Dan masuklah ke dalam lingkaran cinta Rumi
Apakah artinya kemapanan dalam kafilah
Bila setiap saat lonceng sang unta berbunyi, “Angkat muatan”?
Kegelapan malam, ombak yang menakutkan
Pusaran air yang mencemaskan.
Bagaimana mereka tahu keadaan kita
Mereka yang berjalan ringan di sepanjang pantai?
(Mereka yang tidak pernah menyelam ke kedalaman samudra)
/
DAYA KEKUATAN DAN KEHIDUPAN SPRITUAL I
MEMBEBASKAN DIRI

Tidak ada komentar: