Laman

Kamis, 16 Oktober 2014

THE CIRCLE OF LOVE - (Jihad Besar)


Suatu saat, aku pernah menjadi budak: hawa nafsu adalah tuanku, Hawa nafsu kemudian menjadi pelayanku; aku terbebas: Meninggalkan apa yang diburu manusia, aku mencari kehadiranMu, Sebatang kara, aku menemukan Engkau sebagai sahabatku. (Al-Ghazali).


Daya yang terkandung dalam diri manusia adalah di luar perhitungan, karena itu milik Diri, sifat keilahiyahan kita. Daya ini bukanlah milik dualitas dan dinamika ego, sebagaimana seorang teman menyadarinya dalam pengalaman bersama Diri: “Aku bermimpi bahwa aku adalah aku seutuhnya, Tuhan hadir dalam aku sebagai aku… Inilah aku-Ini Tuhan- begitu menakutkan dan tak tahu dirinya aku ini. Aku yang begitu rendah, seluruhnya adalah saya, tapi tidak bisa terganggu dengan daya. Daya atas apa? Tidak ada yang harus didayai. Daya yang tidak memiliki baik subjek maupun objek, tidak terbatas. Daya yang mengandung kekuatan dan kebanggaan akan keberadaan yang sebeanranya. Ini merupakan kebanggan Diri-kita, yang mengandung kerendahan hati diri sendiri-bangga utnuk menjadi hambaNya. Perjalanan batin membawa kita ke kedalaman wujud kita dimana daya primal Diri berada sebagai energi yang tidak terdeferensiasi. Kita membutuhkan energi ini untuk bekerja; kita butuh daya dari wujud alami kita agar menjadi diri kita sendiri dan hidup sejujurnya pada diri, tanpa tedeng aling-aling. Tapi, dunia yang liar dan instingtual ini akan menyerbu kita dengna kekuatan mentahnya, seperti halnya itu mendominasi kita dengan daya-daya instingtualnya.

Dibutuhkan kesadaran untuk menampung dan mengintegrsikan energi instingtual ini. Kesadaran memungkinkan kita untuk bertanya dan diberikan padanya, dan juga penting bagi proses pengindividuan, dimana kita masuk ke dunia insting, mentransformasikan energinya, dan menggunakan daya ini untuk bekerja. Dalam Buddha Zen, ada serangkaian ilustrasi yang disebut “Gambar menggembalakan sapi jantan, “ atau “Kerbau, “ yang menjelaskan pencarian dan trasnformasi sifat seseorang, tergambarkan sebagai sapi jantan. Ilustrasi ini dimulai dengan pencarian kerbau. Selanjutnya, tapak kakinya ditemukan. Kemudian si kerbau ditemukan, ditangkap, dijinakkan, kemudian ditunggangi sampai, sebagaimana dijelaskan, “ Menunggangi kerbau, perlahan-lahan aku kembali menuju rumah Mengendarai kerabu ini, saya sampai ke rumah.”(2) Akhirnya, dalam imej lingkaran yagn kosong, kerbau dan penunggangnya tertransendensikan, sumbernya tercapai. Imej terakhirnya adalah seorang tua kembali ke dunia, dan komentarnya tertulis, “Tanpa alas kaki dan telanjang dada, aku berbaur dengan orang-orang dunia.”

Psikologi modern menginterpretasikan kerbau sebagai energi Diri yang dialami pertama kali sebagai energi instingtual yang mentah, tersembunyi dalam lapisan-lapisan pengkondisian kita. Saat energi ini belum terdeferensiasi, ini termanifestasikan ke ego sebagai keinginan dan insting yang menarik kita pada kehidupan dan merantai kita dalam lingkaran tak berakhir. Tugas pejalan adalah menghubungkan secara sadar diri primal ini dan mentransformasikannya pada cinta, penerimaandan, dan disiplin-diri, sehingga menunjukkan sifat lebih tingginya. Sebagaimana gambar “menaklukkan kerbau” berlanjut, warna kerbau ini perlahan-lahan berubah dari hitam menjadi putih, menggabarkan proses transmutasi; dalam gambar terakhir, hanya ujung ekor kerbau tetap berwarna hitam. Melalui usaha pensucian ini, daya instingtual akan berubah sehingga tidak lagi menunggangi kita, melainkan membawa kita ke arah rumah.” Bagaimana proses itu terjadi merupakan misteri besar- ini adalah salah satu keajaiban tarikat, tapi seringkali ini merupakan sebuah peperangan saat kita terhubung dengan energi primal, merasakan dayanya, dan mencoba menampungnya dalam hati. Ini adalah peperangan dengan hawa nafsu, yang disebut jihad-akbar olehRasulullah SAW. Merupakan perang suci terbesar, melawan hawa nafsu (dibandingkan dengan jihad kecil, perang menghadapi kafir).

Dalam setiap diri, perang ini berkobar secara berbeda, tapi lebih merupakan tantangan sadar bagi pria. Wanita , secara natural, adalah bagian dari kemenyeluruhan isntingtual

ini; mereka memiliki proses penciptaan ilahiyah dalam jasmannya sendiri. Irina Tweedie

menjelaskan hal ini dalam menjawab pertanyaan berikut, “Apakah latihan spiritual lebih mudah bagi wanita atau bagi pria?”:

Wanita sejak lahir menerima pusat spiritual atau pusat psychic kekuatan kreasi Tuhan. Ini ada di sana, tersembunyi. Ini selalu ada di sana. Manusia menciptakan kekuatan penciptaan Tuhan dalam diri fisiknya, dan kekuatan kreasi ini termanifestasikan pada tataran fisik sebagai air mani dalam pria untuk tujuan prokreasi, untuk memilki keturunan. Bagi pria, latihan ini digunakan untuk menggunakan energi yang termanifestasikan sebagai energi seksual, untuk mentransmutasikannya, karena latihan

ini sangat penting. Bagi wanita, kebutuhannya hanya satu. Ia harus membuang keterikatan. Jadi, bagi wanita, kehidupan spiritual lebih mudah dari pria, tapi untuk melepaskan dunia itu lebih sulit daripada pria.

Seksualitas dan energi instingtual adalah bagian dari kekuatan kehidupan yang sama, termanifestasikan dalam manusia. Dalam tingkat yang lebih rendah, daya ini membawa kita ke dalam hidup dan ke dalam siklus prokreasi. Ketika ini tertransmutasikan ke tingkat yang lebih tinggi, energi yang sama akan membawa kita pulang ke Rumah.

Seorang wanita telah memilikinya di pusat wujudnya, dan dalam tubuhnya menampung rahasia ilahiyah tersembunyi dalam kreasi. Seorang pria harus melewati perjalanan labirin kembali ke pusat ini dan menguasai energy primal dari ketidaksadaran: ia harus belajar untuk mengendarai punggung kerbau. Dalm tahap awal, penghadapan pria terhadap dunia instingtual primal, terlambangkan dalam mitologi Barat sebagai “membunuh naga”. Ini merupakan tugas heroik para ksatria, yang pada saat telah terbebas dari rantai instingnya, dapatlah kemudian melayani sifat yang lebih tinggi, Ratu Kami. Sayangnya, imej Barat tentang membunuh naga mengesankan kekuatan murni dan represi diri instingtual seseorang, dibandingkan dengan imej Timur “menunggangi kerbau pulang ke rumah.”, yaitu menguasai tidak hanya semata-mata mengunakan kekuatan , sama halnya kuda tidak dijinakkan dengan kekuatan saja, tapi melalui hubungan sadar. Perilaku Barat kita terhadap sifat instingtual diri, telah membunuh terlalu banyak naga, yang membahayakan, karena memotong hubungan instingtual kita sendiri pada kehidupan.

Pendekatan Timur pada dunia instingtual memberikan kita lebih banyak model keseimbangan. Dimana daya dan kesadaran bekerja sama untuk mentrasnformasikan diri primal, menunjukkan kualitas tertinggi. Tapi ini tidak menolak sifat dinamika kekuatan dalam berperang dengan sifat primal seseorang, sebagai komentator pada “kerbau” menjelaskannya pada “menangakap kerbau, “Aku menaklukkannya dengan tenaga luar biasa, Keinginannya besar dan tak habis-habisnya.

Tapi kemudian, dalam “Menjinakkan kerbau,” peperangan dimenangkan penagkap kerbau dan si kerbau menunjukkan sifatnya yang lebih tinggi dan lembut: Penting untuk menggunakan pecut dan tali, Kalau tidak, ia akan lepas lagi ke jalan yang berdebu. Dengan latihan yang baik, ia menjadi lembut secara natural. Dan, setelah bebas, ia menuruti tuannya. Sufi tidak bertujuan menekan insting atau kehendaknya, tapi untuk menguasainya, karena tahu bahwa setiap hal adalah bagian dari kemanunggalanNya dan perlu untuk dihormati sebagaimana adanya. Tapi, pejalan juga tahu bahwa segala sesuatu itu perlu pelayanan. Bagaimana ia bisa melayani Tuannya bila ia adalah budak dari hawa nafsunya? Contohnya, praktek meditasi yagn teratur sangat penting, tapi pada awalnya, biasanya memerlukan disiplin diri karena kelesuan dan kemalasan menghalangi jalan. Tapi, pada saat yang bersamaan, kita tidak boleh menjadi budak dari dispilin diri, dengan harus bermeditasi pada jam tertentu saja. Selama setahun, saya mencoba untuk bermeditasi jam 4 pagi, karena guruku berkata bahwa ini adalah waktu terbaik, saat tidak banyak pikiran Tapi, sebanyak saya mencoba menguasai tubuh saya, aku akan tertidur atau terlalu lelah untuk bermeditasi. Akhirnya, saya menyerah dan beberapa tahun kemudian menemukan, bahwa aku biasa bangun sebelum jam 05.00 dan bisa bermeditasi tanpa harus memaksa.

Bila terlalu banyak usaha, maka itu bukan spiritual. Sufi, mengajarkan jalan tengah, semua dalam takaran sedang. Bukannya menolak dunia, tarikat menunjukkan pada kemiskinan batin; kemiskinan hati; dimana pecinta melihat hanya Kekasihnya, tahu bahwa kepuasan nyata hanya datang dariNya.

Kesenangan dunia dapat dinikmati, tapi kita tidak mengejarnya, karena kita tahu bahwa kesenangan terdalam adalah berhubungan dalam denganNya. Contohnya, seksualitas dapat merahmati, tapi tidak seharusnya mngatur kita. Mistik tahu, bahwa ada rahmat lebih besar menunggu di hati, sebagai sufi Bhai Sahib menerangkan berdasarkan pengalamanya sendiri; “Ketika aku masih muda bersama istri pertamaku, aku jarang sekali berhubungan badan sengannya. Setiap malam, aku bersatu dengan guru Maharaj. Tidak ada kebahagiaan terbesar daripada ketika dua jiwa bersatu dalam cinta. Kadang-kadang, badan juga bersatu. Bagimana bisa? Baiklah, jiwa menyerap ke seluruh bagian badan, bagitulah caranya. Badan ikut mengambil bagian darinya, ini terdiri di dalamnya melalui reflesi. Tidak ada kebahagiaan terbesar di dunia daripada ini; ketika engkau bersatu dengan gurumu.”

Di dalam usaha ini, trasnformasi tidak terjadi hanya dengan berperang dengan hawa nafsu, tapi juga melalui fokus pada hati, pada sifat yang lebih tinggi dari seseorang. Perang ini nyata, karena diri yang lebih rendah mencoba mendominasi, untuk mengalihkan perhatian dari yang lebih tinggi, untuk menyerap kita ke dunia insting. Tapi, pejalan bertempur balik dengan pedang Laa Illaha dan kekuatan zikir. Kesadaran yang “Tiada tuhan selain Tuhan” adalah kerja keras dan disiplin diri , karena kita berbalik dari dunia ilusi, Laa illaha dan menghadap ke sesuatu yang nyata, illa Allah.

Dengan menghadap Tuan kita, dari syirik kembali ke Satu, akan melindungi kita dari ketidaksadaran dari diri rendah kita dan keinginannya. Kalau kita memandangNya, mengingatNya pada apapun yang kita lakukan, maka semuanya akan meresap karena kehadiranNya. Pengingatan pada Allah adalah hal yang paling sederhana dan kuat, “pecut dan tali” yang kita punya untuk melatih kerbau.

Kekuatan sifat instingtual membuat kita lupa, menyerbu kesadaran kita dengan energi tak terdeferesiasikan. Seksualitas mentah dan keserakahan pada uang, adalah kekuatan besar yang dapat mengausai kita dengan mudahnya. Dan kita semua tahu bagaimana rasanya utuk terperagkap dan terbutakan dalam keinginan tertentu sehingga kita tidak melihat hal lainnya. Tiba-tiba kita menemukan diri kita terayu, teperangkap dalam bentuk pemikiran untuk mempunyai hubungan yang lebih memuaskan atau mobil baru. Dunia instingtual membekukan hijab ilusinya atas pikiran kita, menarik kita pada kelaparan yang tidak bisa sepenuhnya terpuaskan. Ego senang sekali dengan usaha pemuasan keinginan diri sendiri yang tidak ada ujungnya, seperti anak kecil suka sekali untuk dipenuhi kebutuhannya oleh ibunya. Dunia instingtual adalah Ibu besar dan mempunyai janji untuk memenuhi seluruhnya , tapi janji yang memnbawa harga berupa kelupaan dan pemenuhan yang tidak pernah terpuaskan.

Dalam hijab yang berkilauan ini, ego dapat lupa dirinya sendiri, lupa dengan beratnya tanggung jawab dan mematikan cahaya kesadaran. Ibu besar memanggil kita, merayu kita , memenjarakan kita. Jihad terhadap hawa nafsu adalah perjuangan melawan ego, dan ditarik menuju ketidaksadaran, keinginannya hanya untuk memenuhi rangsangan terhadapa kepuasan diri sendiri. Perang yang sesunguhnya berkobar dalam jiwa pejalan di antara kutub ego dengan seluruh dunia instingtual di satu pihak, melawan keinginan hati untuk mengingat dan seluruh keindahan dari mengingat ini.

Seringakali peperangan ini hanya dapat”membunuh naganya” dan menekan keingina kita, menolak setiap modus dari kepuasan diri sendiri. Kemudian kita merasa kemenangan, seperti ksatria jaman dulu. Kita bahkan merasa seperti orang suci yang telah menguasai sifat bawahnya. Tapi, biasanya, keinginan ini, ditekan ke ketidaksadaran, menjadi lebih kuat, mengambil penyamaran dan penuh kecerdikan dalam bentuk kegelapan feminin dan lagi-lagi merayu kita. Ketidasadaran tahu titik lemah dari tameng kita, titik terlemah karakter kita, dan tahu bagaimana membujuk kita. Dengan mengikuti jalan moderasi, kita tidak menekan keinginan kita; kita mengakuinya tapi tidak memperbolehkannya mendominasi kita. Kesadaran dari sifat bawah, adalah penjaga kuat melawan kekuatan rayuan dari ketidaksadaran.

Kita juga harus menyadari bahaya menggunakan daya untuk mendominasi kita. Ada perbedaan besar antara menjinakkan kerbau dan mendominasikannya. Untuk mendominasi adalah untuk memaksa keinginan kita pada orang lain, bahkan terhadap diri instingtual. Ini dapat menyebabkan inflasi dan ketidakeseimbangan. Apa yang didominasi oleh daya, tidak dapat membawa kita ke rumah, tapi akan selalu menahan dengan rasa dendam, dengan keinginan untuk menekan. Daya harus diseimbangkan dengan cinta dan kasih sayang, bahkan kasih sayang akan kelemahan-kelemahan, seseorang perlu untuk pemuasan. Terlalu banyak pembatasan juga akan mengakibatkan steril, sebagaimana guruku mengatakan pada kita sambil tertawa; “Spritulitas dapat membosankan. Seseorang memerlukan sedikit coklat dan sedikit dosa. Sufi mengajarkan moderasi dan canda tawa.


The Golden Sufi Center
THE CIRCLE OF LOVE
/

Pepatah Persia dalam kulit buku, dari Hafiz,
“Kita bukan datang ke pintu ini, mencari kebesaran dan kemenangan.”
Keluarlah dari lingkaran waktu Dan masuklah ke dalam lingkaran cinta Rumi
Apakah artinya kemapanan dalam kafilah
Bila setiap saat lonceng sang unta berbunyi, “Angkat muatan”?
Kegelapan malam, ombak yang menakutkan Pusaran air yang mencemaskan.
Bagaimana mereka tahu keadaan kita Mereka yang berjalan ringan di sepanjang pantai?
(Mereka yang tidak pernah menyelam ke kedalaman samudra)
/
DAYA DAN KEHIDUPAN SPIRITUAL II
JIHAD BESAR

Tidak ada komentar: