Laman

Senin, 20 Oktober 2014

THE CIRCLE OF LOVE - (PUSAT YANG TAK TERLIHAT~ Fana)

Setiap tahap di luar diri kita, dapat menimbulkankecemasan dan ketakutan. Kita mengharapkan sesuatu yang nyata. Pengalaman pasti yang memberikan keyakinan yang kita perlukan, bila kita akan meninggalkan kualitas-kualitas yang telah membawa kita ke pendakian yang terjal. Tapi , tarikat jarang sekali memberikan kita apa yang diharapkan.


Tarikat membimbing di luar ego, di luar diri kita sendiri. Tapi kemana? Dan apa yang kita harapkan dari pergeseran ini? Dan apa yang kita alami dalam pergeseran ini? Seringkali sangat kecil bahkan tak ada. Saat kita berjalan sepanjang tarikat, kehidupan sehari-hari terus menerus datang dengan kesulitan-kesulitan yang kita harus belajar darinya, tantangan-tantangan yang harus kita hadapi. Walau pun demikian, niat batin kita diserap ke tempat yang lain, tapi tempat yang sangat berbeda sehingga hanya meninggalkan sisa-sisa halus dalam kesadaran sehari-hari.

Kehidupan luar bisa jadi membosankan, dan kehidupan batin kita, mungkin kekurangan drama psikologis yang menemani saat-saat kerja batin yang intens. Ego dan pikiran, yang selalu mencari rangsangan, tidak tahu apa yang harus dilakkukan dengan pergeseran ini. Dan karena ide kemajuan begitu sentral dalam budaya kita, memberikan kita rasa sasaran, bahkan “sasaran spiritual, “ kita dapat merasa terkikis bila tidak ada kemajuan yang terlihat.

Selama bertahun-tahun, kita bekerja keras terhadap diri kita dan kita telah berubah; sekarang kita seperti lebam dengan persoalan lama kita yang tak selesai, Dan yang lebih mengganggu adalah fakta bahwa ide tentang diri kita sendiri sebagai pencari spiritual menjadi terkikis. Kalau kita tak melangkan maju, kalau kita tidak berubah, dengan cara apa kita terus melangkah dalam tarikat?

Bekerja dengan diri kita sendiri adalah kegiatan yang nyata; terserap dalam pengingatan hanya meninggalkan sedikit jejak. Kebenaran bahwa tarikat bukanlah tentang diri kita, dan kita bukanlah salik, begitu berlawanan dengan harapan dan pengkondisian spiritul kita, sehinga kita mengantungkan pada imej kita tentang perkembangan spiritual sehingga gampang merasa diri sebagai pecundang.

Ego yang rasa realitasnya berdasarkan pada ilusi atas apa yang eksis, tidak dapat menangkap fakta bahwa tarikat adalah tentang fana, atau kosong. Cengkeraman ego pada kesadaran kita begitu kuat sehingga bahkan setelah bertahun-tahun meditasi, kita seringkali tidak dapat mencerna kebenaran mistis yang primal ini.

Kita mungkin pernah mendengar anihilasi, tapi cuma melihat anggur pada gelas kacanya, tidak akan menyiapkan kita akan bagi pengalaman menjadi mabuk, berpikir tentang fana, tidak akan pernah mempersiapkan kita untuk mengalami kenihilan. Pengalaman fana itu begitu membingungkan.

Siapa atau apa yang hilang/nihil? Siapa atau apa yang akan tetap ada? Bagaimana kita bisa menjadi sesuatu yang bukan kita? Perlahan-lahan, kita melarut, perlahan-lahan kita semakin tak ada apa-apanya.

Seberapa signifikan fana ini, apakah kita memiliki masalah-masalah, perasaan tak aman dan fobia? Kenapa mereka harus dihilangkan? Kita hanyalah manusia biasa seperti orang lain juga, kecuali dalam hati kita, sebuah misteri dibuka, rasa manis dibagikan. Apakah kita perlu melanjutkan perjuangan dengan diri sendiri, mencari jalan menyelesaikan semua kesulitan? Seringkali, lebih mudah untuk belajar hidup dengan apa kita apa adanya dan menerima kesahajaan kita.

Di tengah kewajaran kemanusian ini, renungan dari “Aku adalah Ia yang aku cintai dan Ia yang aku cintai adalah aku, “ mulai terbuka tanpa hambatan dan dalam cinta ini, bagian pusat dari diri kita sendiri menghilang. Ide tentang fana yang melibatkan kematian ego adalah kesalahpahaman. Ada saat-saat ekstasi dimana pecinta “pingsan” di hadapan Kekasihnya. Kita tampil dari momen ini, mabuk dan kebingungan, hanya tahu bahwa kita telah hilang dalam suatu tempat, bahwa ada yang diambil dan ada yang diberikan. Tapi kemudian, kita kembali pada diri yang masih eksis. Ini adalah diri yang kita tempati dalam kehidupan sehari-hari.

Al-Junayd berkata bahwa fana bukanlah pingsannya keseluruhan wujud diri pada Tuhan, tapi pingsannya kehendak kita dalam kehendak Tuhan. Ego tetap ada, tapi berserah diri padaNya.

Kita perlu ego agar dapat berfungsi di dunia ini namun demikian kita rindu pada saat-saat kita hilang, melarut. Kita merasakan bahwa di suatu tempat, kemabukan ini menunggu kita, sementara tugas-tugas harian kita cuma sekedar hal yang membosankan. Tapi, bila kita bertugas melayaniNya di dunia ini kita harus menerima ego dengan segala keterbatasannya, walaupun kita telah menangkap sekilas sifat ilusinya.

Kita tidak boleh terikat pada pada momen-momen kebangkitan sesungguhnya di mana kita tidak terikat.(pada fana). Mimpi berikut ini menceritakan akan kebutuhan untuk meneruskan kehidupan sehari-hari yang terikat dengan ego: Saat aku di penghujung pertemuan meditasi, seoarang Rusia berperawakan tinggi, sederhana dan tampan, berlari di sebelah mobilku mencoba melempar buket mawar ke dalam mobil. Beberapa kuntum masuk ke mobilku, yang lainnya jatuh di jalan.

Kemudian, tiba-tiba ia berhenti, sepertinya Tuhan datang dan menjemputnya. Ia berada dalam ekstasi dengan senyum lebar tersungging di bibirnya dan dia “hilang” seluruhnya. Di atas kepalanya, mulai terbentuk kubah oranye berkilauan dan dia mulai menghilang, menguap, dari kaki. Sepertinya dia disedot oleh kubah oranye itu. Kemudian ia menghilang. Sepertinya ini terjadi beberapa kali dimana ia kembali terlihat, tapi tak ada seorang pun yang tahu kapan ia akan muncul lagi. Aku di sana, menuggu ia timbul kembali.

Kemudian aku ceritakan hal ini pada guruku, dan ia berkata, “Oh tidak, kita tidak melakukan hal seperti itu.” Pada awalnyam aku kira ia berbicara tentang kehilangan itu, tapi kemudian ia seperti merujuk pada kita yang menunggu laki-laki itu untuk muncul lagi dan juga pada kekagumanku pada menghilangnya laki-laki itu.

Mimpi itu menunjukkan keindahan fana, atau melarut dalam Tuhan. Laki-laki Rusia yang melemparkan bunga mawar ke dalam mobil, telah menghilang dalam ekstasi persatuan. Al-Junayd menjelaskan tiga tahap fana. Tahap pertama adalah kebebasan dalam berperilaku atas keinginan diri sendiri di kehidupan lahir kita. Tahap ke dua adalah kebebasan dalam menggapai kesenangan akan kehidupan batin, “bahkan sensasi dari keikmatan penghambaan pada Tuhan- sehigga kau adalah miliknya seutuhnya.”

Dalam tahap kedua ini, apa yang menjadi nihil adalah cengkeraman ego pada pejalan; kita tidak lagi menjadi budak keiginan-keinginan kita sehingga bias memberikan diri kita seluruhnya pada Kekasih. Tapi, tahap fana ketiga dari AL-Junayd adalah penghancuran kesadaran seluruhnya, ketika hamba telanda seluruhnya oleh Tuhan. “Pada tahap ini engkau menghilang dan mengalami kehidupan abadi dalam Tuhan bentuk fisikmu tetap ada tanpa individualitas.

Dengan senyum sederhana di bibirnya, orang Rusia itu telah melarut dalam Tuhan. Tapi, mimpi ini menggambarkan pula salah satu paradoks tarikat yang paling membingungkan. Laki-laki Rusia yang merupakan bagian dari pemimpi itu menghilang dalam kebahagiaan, tapi pemimpi ditinggalkan, dan pemimpi dikatakan, baik untuk menunggu sampai ia tampil kembali, atau tetap terpesona dengan kehilangannya. Ia harus melanjutkan kehidupan sehari-harinya, terlepas dari keindahan yang terjadi dalam dirinya. Al Junayd menjelaskan bagaimana seseorang kembali tahap sadar/tidak mabuk setelah fana: Ia adalah ia sendiri, setelah ia tidak benar-benar dirinya sendiri. Ia hadir dalam dirinya dan dalam Tuhan setelah hadir dalam Tuhan dan tak hadir dalam dirinya sendiri. Ini karena ia telah meninggalkan kemenangan (ghalaba) dari kemabukan Tuhan yang yang sangat menguasai, dan kembali dengan kejernihan yang tidak mabuk. Sekali lagi, ia mengambil sifat-sofat individualitasnya setelah fana.

Membaca Al-Junayd, seseorang mengasumsikan bahwa dalam tahap ke tiga fana, kesadaran pecinta melarut seluruhnya dalam Kekasih, dimana tahap mabuk ilahiyah ini, ia kembali pada dirinya sendiri, ke tingkat tidak mabuk. Kadang-kadang ini benar dan seseorang mengalami kehilangan diri sepenuhnya, dan bangkit hanya mengetahui bahwa seseorang telah diambil, mabuk ke dalam kehadiran Kekasihnya. Tapi, pengalaman dengan pemimpi memandang orang Rusia yang melarut, menunjukkan bagiamana fana dapat jadi lebih kompleks; ada sebagian yang hancur sementara ada bagian lain yang tetap ada.

Seseorang ada dan tak ada dalam waktu bersamaan, keduanya lenyap dalam Tuhan dan batasan dalam ego, keduanya mabuk dan tak mabuk. Ketika seseorang melarut seluruhnya, seseorang tidak dapat berfungsi dalam dunia luar tidak ada kesadaran individual. Karena itu ,tingkat fana seluruhnya ini, biasanya hanya terbatas pada saat meditasi atau waktu malam.

Walau demikian, dalan tahap tak hadir dan hadir pada saat yang bersamaan, seseorang dapat berfungsi di dunia lahir. Malah, seseorang harus belajar untuk berfungsi dengan melepaskan ikatan pada keadaan batin seseorang , sebgaimana dijelaskan dalam mimpi ini. Pemimpi diberi tahu untuk tidak terpesona dengan lenyapnya laki-laki itu, atau pun tidak menunggu kembalinya.

Seseorang belajar untuk bagaimana tetap dalam ego di tingkat tidak mabuk sementara bagian dalam dirinya sendiri, lenyap dalam cahaya. Hanya dalam tingkat tidak mabuk, tetap dalam batas kesadaran pada diri masing-masing, seseorang bisa melayani komunitas. Dan sufi dikenal sebagai, “Hamba dari Yang Satu dan pelayan dari banyak (orang).” Kita berada di dunia untuk bekerja, untuk memenuhi tugas-tugas harian demi untukNya. Karena inilah, Al Junayd dan sufi lainnya menekankan perlunya untuk tidak mabuk setalah tahap mabuk. Bahkan, dikatakan bahwa tingkat pelayanan, datang setelah tahap persatuan. Tapi, Al Junayd juga mengakui bahwa untuk hadir dan tak hadir pada saat yang bersamaan, berarti tegang terus menerus.

Dalam sebuah puisi pendek, ia menjelaskan bagaimana dua hal bertolak belakang ini dari pemisahan dan persatuan ini ko-eksis; Aku menyadari bahwa itu yang berasa dalam diriku. Dan lidahku telah berbicara dengan Engkau dalam rahasia. Dan aku bersatu dalam satu jalan, tapi kita terpisah dalam jalan lainnya Walaupun takjub memiliki Engaku yang tersembunyi pada lirikan dari mataku, Ekstasi telah membuat Engakau dekat dengan bagian terdalam diriku.

Tingkat tidak mabuk, kadang-kadang dijelaskan oleh para mistis sebagai “perpisahan ke dua, “ dan ini adalah jalan yang dilalui salik, hidup dalam ego, dimana ia tahu bahwa sifat ego ini terbatas dan ilusi. “Perpisahan yang pertama” adalah keriduan untuk bersatu dan kebutuhan untuk terbebas dari ego. Setalah merasakan fana, seseorang harus meraih ego lagi, ego yang telah berganti, tapi tetap sama. Fana, adalah penihilan kehedak pecinta dalam kehendak Kekasih, memudahkan kita untuk memenuhi tugas sebagai pelayan.

Untuk menjadi pelayanNya di dunia ini, kita harus tetap dalam ego, dan ada rasa sakit tambahan dari mengetahui bahwa di suatu tempat, kita itu bebas, di suatu tempat, kita berasma dengn Kekasih kita, namun kita harus terus menerus hidup dalam tahap keterbatasan dan perpisahan. Al Junayd berkata bahwa seseorang memerlukan rahmat khusus untuk memikul keadaan tidak ada dan ada dalam waktu bersamaan.


The Golden Sufi Center
THE CIRCLE OF LOVE

/
Akan tiba saatnya ketika lidah akan bergabung dengan hati,
hati bergabung dengan jiwa, jiwa dengan rahasia (sirr),
dan rahasia bergabung dengan al-hHaqq.
Hati akan berkata pada lidah, “Diamlah!”.
Rahasia akan berkata pada jiwa, “diamlah!”
Dan cahaya batin akan berkata pada rahasia, “diamlah.”
(Al-Anshari)
/
CIRCLE OF LOVE VII
PUSAT YANG TAK TERLIHAT
FANA

Tidak ada komentar: