Laman

Jumat, 17 Oktober 2014

THE CIRCLE OF LOVE - (Langkah Nyata Dalam Tarikat)

Kita mendekati jurang dengan cara kita sendiri. Mungkin saja jurang ini terlihat tanpa konteks, hanya perasaan, sakit dan intens. Pengkhianatan dan pengabaian mungkin melemparkan kita ke dalam kemarahan demikian kuat, sehingga kita merasa akar keberadaan kita diserang dan dihantam oleh kekuatan tak dikenal. Jurang itu begitu menakutkan, sampai kita akan mencoba
untuk berbalik dan bersembuyi dalam tangan pecinta yang terlihat..

Tapi jurang ini selalu menunggu. Ini adalah pintu menuju ketidakterbatasan, kekosongan dimana setiap salik harus melewatinya. Setelah melewati pintu, terror itu berkurang hingga menjadi satu cahaya cintaNya yang mencerap kita. Jurang ini adalah penarik kita padaNya, pada lingkaran cintaNya bagi kita, cinta yang begitu total hingga kita tidak lagi mewujud. Jurang ini membawa kekuatan kehadiranNya, dimana bagi ego, itu berupa kesedihan, karena bagi pikiran, itu adalah kekalutan, tapi bagi jiwa adalah satu-satunya jalan Pulang. Tapi, sampai kita sampai pada jurang ini, kita tidak dapat membayangkan atau mempersiapkan perasaan-perasaan yang bangkit.

Kita mencari Dia, kita daki jalan panjang dan sulit menuju gunung. Apa yang ditemukan jauh dari apa yang dikira. Kita berharap untuk tiba malah bertemu lubang hitam yang menarik kita, lingkaran kekuatan yang menarik kita, dan ketakutan primal kita menarik kita berbalik. Rumi bercerita tentang seseorang yang ingin melihat singa: Rumor tentang singa buas telah menyebar ke seluruh dunia. Seorang laki-laki ingin melihatnya dan bertahun-tahun menanggung beban berjalan dari satu tempat ke tempat. Ketika ia sampai di hutan, ia melihat singa dari jarak jauh, ia tiba-tiba berhenti, tidak bias bergerak dan maju lebih jauh.

Seseorang yang tahu singa, berkata dengan lembut padanya, “Kamu sudah berjalan demikian jauh karena kecintaan pada singa. Ketahuilah tentang singa; kalau kau mendekatinya dengan berani dan mengusapnya, ia tidak akan melukaimu sama sekali; kalau kau takut, ia akan marah. Kadang-kadang, ia bahkan menyerang orang yang takut padanya, mengaum, “Bagaimana kau punya opini begitu jelek tentang diriku!” Engkau talah menanggung kesulitan untuk melihatnya, kenapa kau kini terpaku saat sudah dekat? Ambil satu langkah menujunya!” Tidak ada seorang pun menemukan dirinya untuk melangkah bahkan satu langkah pun. Setiap orang berkata, “Setiap langkah yang kita ambil sebelum ini lebih mudah.

Di sini, kita tidak dapat bergerak.” Dibutuhkan keimanan ynga teguh untuk datang ke singa, saat singa itu ada. Langkah itu adalah langkah agung dan mulia, hanya orang terpilih dan teman-teman Allah yang mampu menempuhnya. Ini adalah langkah nyata pertama dalam tarikat; semua langkah lainnya adalah jejak-jejak yang memudar. Dan keimanan untuk menjalaninya hanya untuk para wali dan para nabi, untuk mereka yagn telah mencuci tangan dari kehidupannya.

Singa itu adalah jalan yang menarik kita padaNya, Tarikat spiritual adalah energi dinamis yang datang dari Luar Batas, dan mempersiapkan diri untuk mengorbankan diri sendiri. Jalan ini yang menarik kita padaNya, dengan panggilan cinta, dengan keinginan hati akan sesuatu yang Nyata. Tapi, tiba-tiba, suatu hari, kita menemukan diri kita dalam kehadiran tarikat, di jalan masuk dari gelanggang cinta, dan gelanggang yang penuh darah dari korban-korban yagn terbunuh. Tiba-tiba kita mengethui bahwa singa akan memangsa kita, tahu bukan dengan pikiran kita, bukan dengan tentang berserah diri, tapi dengan nyali kita, dengan seluruh insting diri menarik kita ke belakang, penuh ketakutan.

Kita merasakan apa artinya menjadi korban cinta, bukan sebagai ide spiritual, tapi seperti angin nyata yang melolong, menakutkan setiap serabut dalam tubuh; untuk mati sebelum mati tiba-tiba menjadi agoni dari keragu-raguan. Apakah kita berani untuk maju ke depan? Apah kita cukup gila? Bagaimana tentang semua nilai-nilai spiritual yang kita bawa bersama? Semua keimanan dan ide-ide spiritual? Itu semua yang paling berharga harus pergi…untuk diriku sendiri, pengetahun bahwa aku milikNya (adalah pengetahuan yagn paling berharga-red). Jadi, ia menjualku ke perbudakan dunia tanpaNya, dan perlu waktu seumur hidup untuk menerimanya.

Untuk mengataka ya pada pengabaian, adalah pakta bunuh diri dengan Kekasih, tarian kematian dimana kita menyerahkan diri kita seutuhnya. Dan pecintaNya, mati dengan senyum di bibir, senyum kerinduan untuk hidup sepenuhnya. Kita Al Hallaj berada di pancang, serta tangan dan kakinya dipotong, ia ditanyai, “Apakah Sufisme itu?” Ia menjawab, “Dalam tingkat terendah adalah apa yang kau saksikan sekarang.”

“Di tingkat tertinggi?” Al Hallaj menjawab, “…besok kau akan menyaksikannya…karena aku menyaksikannya dalam misteri Ilahiyyah.”(16). Besoknya, kepalanya dipenggal. Dalam penyalibannya, Al Hallaj berperaran misteri cinta dalam panggung dunia lahiriyah. Tapi, komitmen batin yang sama menuntut seluruh pecinta untuk berani memberikan dirinya sendiri dalam cinta, yang tahu untuk mengambil “langakah nyata” menuju singa saat singa ada. Dan, sebagai mana Rumi berkata, “Keimanan mensyaratkan untuk mengambil langakah itu, hanya datang pada para wali dan nabi, bagi mereka yang mencuci tangannya dari kehidupannya sendiri.“

Singa itu, tarikat, adalah jurang. Jurang itu, adalah kekosongan yang merupakan cinta yang penuh. Melangkah ke jurang, mengambil langkah menuju singa, adalah memberikan diri kita pada cinta. Tapi, cinta ini begitu berbeda dari apa pun yang kita kira, sehingga terlihat sebagai jurang tanpa dasar, sebagai kekuatan yang akan memangsa.

Hanya pecinta yang membawa ukiran, ingatan akan rasa cinta sejati, dari”mabuk anggur sebelum anggur tercipta,” dipanggil oleh ingatan ini, ke dalam kegilaan kemabukan paling rahasia, ketergantungan jiwa pada apa yang tanpa batas dan nyata. Apakah yang terjadi setelah jurang itu? Tidak ada yang “terjadi”, karena pecinta telah mati. Ini merupakan misteri yang coba diungkapkan oleh Rumi; Pelajaran tata bahasa; “Pecinta mati.” “Pecinta adalah subyek dan obyek, tapi itu tidak bisa terjadi!” Pecinta itu mati.

Hanya secara tatabahasa, seorang darwis/pecinta adalah pelaku. Dalam kenyataannya, dengan ia begitu tak berdaya, begitu larut dalam cinta, semua kualitas dalam “melakukan”, menghilang karena semua dilakukan oleh Allah. Apakah yang mati? Apakah larut dalam cinta ini? Bagi mereka yang berdiri di depan singa, atau dipinggir jurang, keadaan ini seperti penutup. Tapi singa itu adalah diri sendiri, sifat batin kita sesungghunya. Jurang itu adalah kekosongan yang terletak di pusat keberadaan kita. Jurang ini adalah kebebasan akan apa kita sesungguhnya, bukan ilusi yang memenjara kita sendiri. Singa itu adalah lambang cinta yang “Apa sebenarnya kita, sebelum kita ada.” Dengan menghilangkan diri kita sendiri adalah seperti menanggalkan mantel dan merasakan hangatnya matahari. Sinar matahari adalah substansi cinta yagn tidak ada batas, penghalang atau kepercayaan. Alasan kenapa jurang bisa terasa begitu dingin adalah karena jurang tidak menghangatkan keperibadian; ia tidak merengkuh ego. “Aku” dibiarkan dalam isolasi “rumah duka.” “Aku” tetap berada di pinggir, merasa tidak diikutsertakan, merasakan kesepian karena ketidakberadaan, tanpa dikelilingi oleh kebahagiaan dari kebebasan nyata, mabuk akan cinta sejati.

Kemudian, ego akan diberikan rasa kesenangan jiwa ini ; sebuah refleksi dari sinar matahari yang menyerap bahkan pada ilusi ego ini, kemiripan bentuk dari diri. Salik, akan merasakan keindahan berserah diri, karena tahu apa yang sudah diberikan padanya. Kita tidak tahu apa yagn telah diberikan karena ini di luar batas ufuk diri kemiripan diri (ego). Tapi kita bisa melihat matahari terbit terrefleksikan di gunung. Kita tahu seseuatu telah terjadi, bahwa dalam lingkaran cinta, sesuatu telah diberikan dan diterima.

Kemanunggalan bukankah ekuasi matematik, tapi keberadaan hidup yang menyerap ke dalam pusat keberadaan kita. Singa hidup dalam keberadaan ini, keberadaan ini hidup dalam diri kita. Saat kita siap dalam kesedihan, singa akan muncul. Kita mungkin berpikir bahwa kita mencari singa, tapi kita sebenarnya selalu menjadi yang dicari. Jurang itu merupakan kerinduan kita memanggil kita, menarik kita ke batas kita sendiri. Penelantaran adalah teror, kelemahan, pelanggaran dan kebahagiaan. Penelantaran tidak punya kepura-puraan dan atau perhatian pada hal lainnya, ia adalah Cinta tanpa batas, dimana hidup dan mati milik satu sama lain.

Ketika kita kembali dari pinggiran ini, mereka yang pergi sebelum kita, dapat saja menyemangati kita, berbicara akan apa yang kita rindukan, tentang dongeng pecinta. Tapi, akhirnya, pilihan itu adalah untuk masing-masing kita. Kita tidak boleh tahu apa yang sedang menunggu. Kita harus memberikan cek kosong pada seluruh diri kita sendiri, menyerahkan diri pada teror tanpa harapan. Kita berdiri sendiri di tepian kesendirianNya. Mungkin, suatu hari, kita akan berani untuk melompat.


The Golden Sufi Center
THE CIRCLE OF LOVE
/

Jalan cinta bukanlah perdebatan yang tersembuyi.
Pintu menujunya adalah kesengsaraan.
Burung membuat lingkaran besar di udara untuk kebebasannya
Bagaimana mereka mempelajarinya?
Mereka jatuh dan jatuh, dan diberikan sayap.
(Rumi) 
/
CIRCLE OF LOVE V
LANGKAH NYATA DALAM TARIKAT

Tidak ada komentar: